Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Agar Suami Berhenti Merokok

11 Oktober 2015   05:25 Diperbarui: 11 Oktober 2015   05:25 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Alhamdulillah, suami mbak sekarang udah nggak ngerokok lagi, Syaiha,” kata mbakyu saya. pandangan matanya lurus ke depan, menyaksikan ombak yang terus-menerus berkejaran. Tidak pernah lelah, apalagi berhenti. Mereka hanya air, tak berpikir dan merasa, tak tahu bahwa kejar-kejaran mereka tak bisa saling merengkuh yang satu dengan yang lainnya.

Mungkin karena itulah mereka tak pernah mangkir, tidak menyerah. Berbeda sekali dengan manusia, bukan? Terkadang, suka putus asa duluan hanya karena ketika mencoba, beberapa kali gagal. Jatuh dan tak mau bangkit lagi.

“Bagaimana bisa, Mbak?” saya bertanya, menoleh ke arahnya yang sedang asik menerawang ke depan. Entahlah apa yang ada di pikirannya.

Sejenak kemudian, kedua bibirnya yang bijak itu mengembang, tersenyum simpul, berkata, “Seperti ombak itu, Syaiha,” ia menunjuk ke depan. Empat sampai lima ombak, bergelung saling mengejar. Di belakangnya, tercipta lagi satu gulungan ombak, ikut menyusul.

Aku masih belum mengerti.

“Seperti ombak itu, Syaiha,” ia mengulangi kalimatnya barusan, melanjutkan, “mbak nggak pernah menyerah mengingatkan. Berbagai cara mbak lakukan, menasihati suami mbak agar berhenti merokok. Juga berdoa kepada Allah.”

Satu detik lengang. Hanya deburan ombak yang menyentuh tubir pantai saja yang bergemuruh.

“Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa Allah lah pemilik hati-hati manusia? Dialah yang berkuasa membolak-balikkan hati kita, maka kepada-NYA lah mbak meminta.”

Saya teringat sesuatu, bertanya lagi, “Bukankah selama ini, Mas selalu marah kalau diingatkan untuk berhenti merokok? Lalu bagaimana mbak mengingatkannya?”

Tak dinyana, mendengar pertanyaan itu, mbakyu saya malah terkekeh. Sikapnya itu, memamerkan deretan giginya yang bersih dan rapi.

“Ada caranya, Syaiha,” ia mengarahkan pandangan ke anak keduanya yang sedang bermain pasir, beberapa meter dari tempat kami duduk.

Saya menyipitkan mata, kening saya berkerut, bertanya dengan ekspresi wajahnya, “Maksudnya?”

“Dia yang mengingatkan ayahnya, Syaiha. Nggak mungkin mbak toh? Kamu tahu sendiri kan, setahun lalu mbak dan suami sempat bertengkar hebat hanya karena masalah rokok? Mbak mengingatkan untuk berhenti, suami malah membentak.”

Saya mengangguk-angguk, membenarkan strategi yang dilakukan mbakyu. Cerdas sekali.

“Hampir setiap ayahnya merokok, Salwa yang berkata, ‘Ayah kalau ngerokok jangan di dalam rumah lah. Bau tahu, Yah!’ atau ‘Ayah nih loh, ngerokok terus. Emang Ayah nggak takut kalau paru-parunya sakit?’ dan sebagainya. Salwa polos sekali mengatakannya. Dan suami mbak tak mungkin memarahinya, bukan?”

Aku nyengir, membayangkan wajah abang iparku ditegur oleh anak keduanya yang masih kelas 1 SD, pastilah membuatnya tengsin. Malu, mengulum senyum, lalu keluar rumah. Duduk sendirian di teras, menghisap rokoknya disana.

“Pelan tapi pasti, suami mbak menyadari bahwa asap rokok bisa membahayakan anak-anak dan keluarganya.”

“Puncaknya adalah,” mbakyu saya bercerita kemudian, ingat akan sesuatu hal, “ketika Salwa divonis menderita gejala TBC kemarin, Syaiha. Suami mbak terpukul sekali. Merasa bahwa semua itu adalah salahnya. Salah asap rokoknya.”

“Jadi, karena itu Mas berhenti merokok, Mbak?”

Ia mengangguk. Tak menjawab apapun.

Itu adalah kejadian dua atau tiga tahun yang lalu, ketika saya pulang kampung ke Bengkulu. Dan sekarang, keluarga mbak saya ini, terlihat bahagia sekali. suaminya sudah tak merokok, rejekinya mengalir deras seperti air terjun niagara yang dilanda hujan lebat berhari-hari, anak-anaknya juga tumbuh dan berprestasi.

Salwa yang sempat menderita gejala TBC, sekarang sudah sembuh, menjadi anak yang  membanggakan, menjadi juara satu terus di kelasnya.

Sahabat sekalian, tentu saja saya tak tahu pasti apa sebab keponakan saya dulu sampai terkena gejala TBC. Boleh jadi karena debu, karena tertular sahabat mainnya, atau malah karena asap roko ayahnya?

Saya tak pernah benar-benar tahu.

Tapi yang pasti, kita sekarang, untuk siapapun yang masih merokok dan bangga, maka berhentilah. Sungguh, berhentilah. Kalian tentu tak ingin menunggu hingga salah satu anggota keluarga yang terkena imbasnya, bukan?

Tak perlu sampai anak bungsu, istri, dan anggota keluarga kalian sesak napas. Jika bisa berhenti sekarang, mengapa tidak?

“Awalnya, berhenti merokok itu memang berat, Syaiha. Suami mbak yang berkata demikian,” mbakyu saya melanjutkan, “setiap hari Mas selalu membawa permen ke tempat kerjanya. Sekantong penuh.”

“Untuk apa, mbak?”

“Sebagai pelampiasan,” mbakyu menjelaskan, “jadi, setiap kali mulutnya masam dan ingin merokok, ia merogoh satu permen dan memakannya. Hal ini berhasil menjadi pengalih perhatian pikirannya.”

Cerdas sekali!

“Tapi sekali lagi, semua itu memang tak akan berarti apa-apa sih,” mbakyu sudah akan sampai pada pamungkas ceritanya, “berhenti merokok itu berat sekali. Dan selama si perokok itu tak berniat, tak ada keinginan dalam dirinya, maka hampir mustahil dia bisa menghindar dari kebiasaan buruknya itu!”

Demikian!

Saya posting juga di www.bangsyaiha.com 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun