Unsur Pembentuk Manusia. Disiratkan  dalam  Al Qur’an  bahwa manusia tercipta  dari  4 unsur : tanah, api, air dan udara/angin. Yang sesungguhnya keempat unsur ini saling bermusuhan. Saling menyombongkan bahwa dirinyalah yang paling kuat dan yang paling berkuasa atas unsur yang lain.
Atas kondisi tersebut Tuhan menguji masing - masing unsur sebagai berikut : Hai angin, atas dasar apa engkau menyatakan dirimu yang paling kuat dan paling berkuasa atas unsur yang lain? Angin menjawab. Tuhan, sayalah yang paling kuat dan yang paling berkuasa atas mereka, karena mereka tidak ada kesanggupan untuk menghentikan kekuatan dan kuasaku. Dan bahkan aku sanggup menerbangkan dan merobohkan mereka, bila menghalangiku.
Tuhan menjawab, hai angin alangkah sombongnya engkau. Cobalah pindahkan gunung dan laut itu, ketempat lain dengan kekuatan dan kuasamu. Mendengar  perkataan itu, angin lalu  bersujud dan berkata Maha Suci Allah. Sesungguhnya tiada kekuatan dan kuasaku untuk melakukan itu ya Allah, oleh karena itu aku tunduk dan bersujud dihadapan-Mu.
Berikutnya giliran api. Hai api atas dasar apa engkau menyatakan dirimu yang paling kuat dan yang paling berkuasa, atas unsur yang lain? Api menjawab. Tuhan sayalah yang paling kuat dan paling  berkuasa, atas  mereka. Karena mereka, tidak ada kesanggupan untuk menghentikan kekuatan dan kuasaku. Dan bahkan aku sanggup, membakar mereka yang ada di sekelilingku.
Tuhan menjawab, hai api alangkah sombongnya engkau. Tidakkah engkau ingat  bahwa nyalamu dapat dipadamkan dengan siraman air? Mendengar perkataan tersebut, api lalu bersujud dan berkata Maha Suci Allah. Sesungguhnya tiada kekuatan dan kuasaku untuk melakukan itu ya Allah, oleh karena itu aku  tunduk  dan  bersujud  dihadapan-Mu. Demikian selanjutnya terhadap air dan tanah. Mereka semua mengakui kelemahannya masing – masing, dan akhirnya kesemua unsur tersebut bersujud dihadapan Allah.
Dari uraian singkat ini, dapat diketahui  bahwa  sesungguhnya manusia tercipta dari unsur - unsur yang saling bermusuhan ( tercerai berai ). Namun atas kehendak dan kuasa Allah, dapat bersatu menjadi satu kesatuan yang disebut manusia.
Hidup Karena Kebiasaan.Kalau seseorang mengaku sebagai manusia, hendaklah berupaya agar dua unsur pembentuk manusia itu  merupakan  satu kesatuan yang bulat dan utuh. Artinya, dalam setiap perbuatan hendaklah dibiasakan agar kedua unsur itu tidak berjalan sendiri - sendiri. Misal, sembahyang sudah berniat dan mengucap Allahu Akbar. Tetapi pikiran masih berpikir,  jangan - jangan  sandal baru saya diambil orang. Ini artinya yang sembahyang baru badannya (lahiriyahnya) saja, sedangkan batiniyahnya belum sembahyang.
Berpuasa, tentunya tidak berarti hanya menahan lapar dan haus saja ( ini baru lahiriyahnya saja yang dipuasakan ). Batiniyahpun dipuasakan, dengan menahan hawa nafsu, di antaranya  menahan amarah. Tidak berbuat sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Tidak membicarakan aib orang lain. Tidak mencuri dengar pembicaraan orang lain. Tidak berbohong. Tidak korupsi. Dan lain - lain perbuatan yang dapat mengurangi atau bahkan dapat menghapus nikmat puasa.
Demikian seterusnya, meskipun bulan ramadhan telah berlalu, puasa lahir memang sudah tidak dilaksanakan. Tetapi batin tetap dipuasakan sepanjang masa, sampai akhir hayat. Artinya, meskipun bulan ramadhan telah berlalu  tetap  diteruskan tidak marah. Tidak membicarakan aib orang lain. Tidak  mencuri dengar pembicaraan orang lain. Tidak berbohong. Tidak korupsi dan lain - lain perbuatan buruk sampai akhir hayat. Dengan demikian, kapanpun dan dimanapun keberadaan kita, manakala  Tuhan  menghendaki  untuk  mewafatkan kita,  kita wafat dalam kondisi berpuasa.           Â
Demikian pula manakala akan berbuat, seyogyanya dibiasakan  setiap  perbuatan, dilandasi niat ikhlas lahir dan batin, agar tidak merugi dua kali. Misal. Ada orang minta sedekah diberi,  begitu  orangnya pergi berkomentar,  orang  sehat - sehat kok minta - minta. Ini berarti yang sedekah baru lahiriyahnya saja, batiniyahnya belum. Dengan demikian merugi dua kali. Pertama, rugi karena apa yang telah diberikan tidak kembali. Kedua, ganjaran atau pahala tidak akan diperoleh.
Membantu orang lain, atas bantuan tersebut seseorang lalu mengucapkan terima kasih. Setelah orangnya pergi, berkomentar enak aja ngomong terima kasih, sini yang mengerjakan gempor / capek. Inipun perbuatan yang sia - sia. Lalu seharusnya bagaimana? Kita hendaklah membiasakan, satunya kata dengan perbuatan dilandasi niat iklas lahir dan batin.
Mari kita simak ilustrasi berikut. Dicari anggota keluarga atau teman, yang mempunyai kebiasaan  berbeda, misal beda dalam waktu bangun tidur. Si A biasa bangun pukul 04.00 wib. Si B biasa bangun pukul 08.00 wib. Pada pukul 04.00 wib.  secara  otomatis Si A bangun,  tetapi bagi si B walaupun disiram air umpamanya, dia terjaga, selanjutnya menge-ringkan badan, ganti pakaian dan  selimut, lalu ……paling banter tidur lagi ditempat lain yang kering. Sebaliknya yang biasa bangun pukul 04.00 wib,  disuruh  tidur terus  sampai  pukul  08.00 wib. baru bangun, ya sulit!
Hal-hal sepele berikut, Â hendaklah juga dibiasakan, misal. Bila kita dicubit terasa sakit, ya kita hendaklah membiasakan agar tidak mencubit orang lain. Bila kita ingin tidak dikatakan kafir, kita hendaklah membiasakan agar tidak mengatakan kafir orang lain. Bila kita ingin tidak dipersulit, kita hendaklah membiasakan agar tidak mempersulit orang lain. Bila kita ingin dihargai, kita hendaklah membiasakan agar menghargai orang lain. Bila kita ingin dihormati, kita hendaklah membiasakan agar menghormati orang lain. Dan lain - lain, apapun derajat, pangkat dan kedudukan, serta golongan atau kelompoknya.
Jadi hendaklah dibiasakan agar segala perbuatan yang akan kita lakukan, sebelum dilaksanakan diukurkan kepada diri sendiri terlebih dahulu, supaya kita tidak menerima balikannya. Sebagaimana difirmankan dalam Surat Al Israa’ ayat 7. Jika kamu berbuat baik ( berarti ) kamu berbuat baik bagi  dirimu  sendiri dan  jika  kamu  berbuat  jahat, maka  ( kejahatan ) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi ( kejahatan ) yang kedua, ( Kami datangkan orang – orang lain ) untuk menyuramkan muka – muka kamu dan mereka masuk kedalam masjid, sebagaimana musuh – musuhmu  memasukinya pada kali pertama  dan untuk membinasakan sehabis – habisnya apa saja  yang mereka kuasai.           Â
Sungguh memprihatinkan memang, mengapa banyak orang yang belum dapat berbuat seperti apa yang dikatakannya. Disatu sisi orang bilang, mari kita jelang ramadhan dengan penuh kegembiraan, suka cita, saling memaafkan. Disisi lain banyak orang jelang dan selama ramadhan malah adakan sweaping warung dan tempat hiburan, bahkan ada pula daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda). Opo tumon? Wong kita yang mau berbuat, kok memaksa orang lain disuruh menghargai dan menghormati kita?
Kalau kita puasa ingin dihargai, kitapun harus bisa menghargai orang yang tidak berpuasa. Sebagai ilustrasi, izinkan saya menyampaikan kebiasaan dalam melaksanakan puasa, sebagai berikut. Selama ramadhan aktivitas kedinasan berjalan seperti biasa, tak jarang bersama teman bila ke lapangan. Selama perjalanan tidak ada makan dan minum, karena memang saya berpuasa, demikian juga teman yang ikut. Menjelang sore, si teman minta maaf mau merokok karena beliau ternyata tidak berpuasa, saya tidak tahu. Dan beliau mengatakan, dia lebih tahan tidak makan seharian dari pada tidak merokok beberapa saat. Saya menjawab silahkan pak, mengapa bapak baru mengatakan sekarang? Beliau menjawab, iya pak karena saya menghargai dan menghormati bapak yang sedang berpuasa.
Kejadian serupa juga sering terjadi di rumah. Bila ada teman yang berkunjung dan tahu kalau si teman perokok, saya siapkan asbak dan sekedar air dalam kemasan. Maafkan hanya ini yang bisa saya suguhkan. Sampai si teman pamit pulang, air minum tidak disentuh apalagi merokok. Ketika saya tanyakan kok tidak minum dan merokok, beliau menjawab karena menghargai dan menghormati saya yang sedang berpuasa.
Saya berbuat demikian, karena saya hanya melaksanakan perintah dan petunjuk Allah semata. Mari kita simak dan rasakan makna Surat An Nisaa’ ayat 86. Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.
Dari ilustrasi tadi, sesungguhnya manusia mempunyai sifat tenggang rasa  ( Jawa = roso pangroso = tepo saliro ). Jadi mestinya ya tidak usah menggunakan perda atau kekerasan dalam menciptakan iklim sejuk dalam bulan ramadhan. Bagi saya dan teman - teman yang berpuasa, ya tidak usah mendekat ke warung dan tempat hiburan, ngapain? Bila kebetulan melewati tempat tersebut, mari itu kita anggap sebagai godaan. Tidak usah mengeksekusi penalti kok kiper harus diikat tangan dan kakinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H