Mohon tunggu...
Budi Satria Dewantoro
Budi Satria Dewantoro Mohon Tunggu... Pengacara - Praktisi Hukum

Dekat dengan isu hukum-HAM, human security, kepolisian, penggemar sepak bola, peminat budaya, dan penikmat kuliner Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

LP3H: Solusi Hukum Terintegrasi atau Penghalang Investasi

21 Januari 2025   16:13 Diperbarui: 21 Januari 2025   16:13 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik keindahan hutan yang menyejukkan dan kekayaan alam yang melimpah, tersimpan sebuah tantangan besar: bagaimana melindungi warisan alam ini dari ancaman kerusakan yang semakin meluas? Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) telah menjadi payung hukum dalam usaha melindungi hutan. Salah satu aspek penting dari UU ini adalah pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan (LP3H). 

Realitasnya, meskipun Undang-Undang ini telah diberlakukan lebih dari satu dekade, pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) oleh pemerintah tak kunjung terwujud. Sebuah ironi kemudian muncul, ketika di tengah upaya memperteguh ketegasan hukum, Pasal 54 yang mengatur eksistensi LP3H malah dihapus melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker). Keputusan ini menimbulkan sebuah masalah besar, berupa kekosongan hukum yang mengancam efektivitas pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan.

Setelah penghapusan Pasal 54, beberapa pasal terkait lainnya yang relevan dengan fungsi LP3H, seperti Pasal 55, 56, 57, dan 75, justru masih tetap berlaku. Inilah yang menciptakan ketidakkonsistenan dalam regulasi, mengakibatkan kesulitan dalam implementasi upaya perlindungan hutan. Maka, muncullah dua opsi yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh pemerintah Indonesia: apakah perlu menghapus seluruh pasal terkait dengan Pasal 54 ataukah membentuk kembali LP3H dengan memasukkan Pasal 54 kembali ke dalam UU Cipta Kerja?

Kekosongan Hukum dan Kendala Implementasi

Kekosongan hukum yang ditimbulkan oleh pencabutan Pasal 54 berdampak langsung pada koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam pengawasan dan pencegahan kerusakan hutan. Tanpa LP3H yang memiliki kewenangan untuk menangani penyidikan dan memberikan sanksi, efektivitas penegakan hukum semakin lemah. Ini menciptakan celah besar bagi pelaku kerusakan hutan untuk terus merusak tanpa takut akan konsekuensi yang jelas.

Lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menanggulangi kerusakan hutan kini tidak ada, membuat penegakan hukum terasa terpecah belah. Tanpa koordinasi yang solid, usaha untuk menjaga keberlanjutan hutan Indonesia menjadi semakin sulit dicapai.

Alternatif Solusi: Mencabut atau Membentuk Kembali LP3H

Ada dua solusi yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini:

Menghapus Pasal-pasal yang Terkait dengan Pasal 54 UU PPPH

Menghapus Pasal 55, 56, 57, dan 75 yang berhubungan dengan Pasal 54 akan menciptakan konsistensi hukum yang lebih jelas. Penghapusan ini akan menyederhanakan regulasi, memastikan bahwa hukum yang ada lebih sinkron dan mudah diterapkan. Namun, ada risiko bahwa tanpa LP3H, upaya pencegahan kerusakan hutan dapat terhambat, dan penegakan hukum menjadi lebih lambat.

Membentuk Kembali LP3H dengan Memasukkan Pasal 54 ke dalam UU Cipta Kerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun