Di tengah arus deras dinamika politik Indonesia, gagasan Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, untuk menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri atau kembali di bawah kendali Panglima TNI menjadi sorotan.Â
Usulan ini, meskipun dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap netralitas Polri dalam ajang Pemilu, menuai polemik yang mendalam. Seperti halnya angin kencang yang menghempas layar, gagasan tersebut menyentuh esensi tata kelola demokrasi dan menuntut perenungan filosofis.
Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, menegaskan bahwa usulan ini bertentangan dengan amanah reformasi. Pemisahan TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah pilar reformasi yang dibangun untuk memastikan independensi dua institusi ini.Â
Polri, sebagai institusi yang berada langsung di bawah Presiden, memikul tanggung jawab besar menjaga keamanan dan ketertiban, terutama di era modern dengan kompleksitas kejahatan yang semakin berkembang---mulai dari kejahatan siber hingga ekonomi global. Menggeser kedudukan Polri hanya akan mengundang kebingungan struktural dan membuka celah bagi distorsi kelembagaan.
Refleksi Integritas Demokrasi
Evaluasi pelaksanaan Pilkada oleh PDI Perjuangan yang mempersoalkan netralitas Polri patut dipandang sebagai alarm untuk memperkuat integritas demokrasi.
 Tuduhan tersebut, jika benar, seharusnya diuji melalui mekanisme hukum, seperti di Bawaslu atau Mahkamah Konstitusi, bukan dijadikan dasar untuk perubahan struktural yang merugikan. Kritik semacam itu adalah cerminan dari semangat demokrasi, namun harus diolah dalam bingkai hukum yang objektif dan transparan.
Gagasan mengembalikan Polri di bawah kendali TNI atau Kementerian Dalam Negeri adalah langkah mundur yang mengabaikan semangat reformasi. Polri, sebagaimana ditegaskan Pasal 30 UUD 1945, adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.Â
Mengubah posisi kelembagaan Polri tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga berpotensi merusak independensi institusi ini, yang merupakan prasyarat untuk menjaga demokrasi tetap sehat dan kuat.
Menjaga Keseimbangan, Memperkuat TransformasiÂ
Seperti halnya sebuah kapal yang berlayar di samudra luas, demokrasi membutuhkan nahkoda yang tegas, namun juga fleksibel dalam menyesuaikan arah. Dalam konteks ini, transformasi Polri adalah upaya memperkuat integritas tanpa mengubah posisi kelembagaannya.Â
Riset SETARA Institute (2024) menegaskan bahwa fokus reformasi harus pada kinerja Polri, bukan pada kedudukannya. Penguatan Kompolnas sebagai instrumen pengawas adalah salah satu langkah strategis untuk memastikan Polri tetap profesional, netral, dan berintegritas.
Di sisi lain, perbaikan regulasi Pemilu dan Pilkada adalah langkah paralel yang tak kalah penting. Penegasan netralitas ASN, TNI, dan Polri sebagai tindak pidana, sebagaimana diarahkan Mahkamah Konstitusi, adalah fondasi untuk mencegah politisasi institusi negara. Dengan demikian, demokrasi yang kita bangun tidak hanya menjadi proses prosedural, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan transparansi.
Mengarungi Masa Depan dengan Kebijaksanaan
Usulan perubahan posisi Polri hanyalah riak kecil dalam samudra besar perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, riak ini mengingatkan kita untuk terus menata arah dengan bijaksana. Demokrasi adalah perjalanan panjang, seperti meniti puncak gunung yang penuh tantangan. Dalam setiap langkahnya, Polri adalah penyangga yang menjaga stabilitas, sekaligus melindungi nilai-nilai keadilan.
Di bawah arahan Presiden sebagai sang nahkoda, Polri harus terus memperkuat perannya sebagai pelindung masyarakat. Menata demokrasi bukan berarti mengubah fondasinya, tetapi memastikan setiap elemen bekerja harmoni, seperti orkestra yang memainkan simfoni kehidupan bangsa.Â
Indonesia membutuhkan demokrasi yang kokoh, dan itu hanya bisa dicapai dengan memperkuat, bukan meredupkan, peran vital Polri.
Di sisi lain, perbaikan regulasi Pemilu dan Pilkada bukan sekadar langkah teknis, melainkan sebuah upaya merajut ulang kain demokrasi yang mulai lusuh di beberapa sudut. Penegasan bahwa ketidaknetralan ASN, TNI, dan Polri adalah pelanggaran serius yang layak mendapat sanksi berat bukan hanya peringatan moral, tetapi fondasi untuk mencegah institusi negara menjadi alat ambisi politik segelintir orang.
Pengalaman penulis dalam misi internasional bersama ANFREL memantau Pemilu di Kamboja pada Juli 2008 menunjukkan betapa isu state apparatus impartiality atau ketidakberpihakan aparatur negara menjadi nyawa dalam memastikan hasil pemilu mencerminkan suara rakyat, bukan skenario elit.Â
Di Kamboja, seperti halnya di banyak negara dengan demokrasi muda, netralitas pegawai negeri, pejabat pemerintah, militer, dan kepolisian kerap menjadi teka-teki abu-abu yang memengaruhi arah sejarah bangsa.
Demokrasi yang sejati tidak berhenti pada seremoni bilik suara, melainkan terletak pada nilai keadilan yang meresap hingga ke jantung birokrasi. Dengan mencegah politisasi institusi negara, kita tidak hanya menata prosedur, tetapi juga membangun legitimasi yang kokoh---sebuah mercusuar yang memandu bangsa menuju transparansi dan keadilan hakiki.
Salam Setia Bhayangkara…
Tegak Mengawal Negeri
Budi Satria Dewantoro
Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan PP HIPWI-FKPPI
Sumber bacaan:
* Siaran Pers SETARA Institute,"Polri di Bawah Presiden adalah Perintah Konstitusi RI", 1 Desember 2024;
* https://news.detik.com/berita/d-7663788/pimpinan-dpr-tolak-ide-pdip-tempatkan-polri-di-bawah-kemendagri
* https://nasional.kompas.com/read/2024/11/28/17035041/imbas-pilkada-2024-pdi-p-minta-polri-kembali-di-bawah-tni-atau-kemendagri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H