minyak goreng beberapa waktu lalu, Koalisi Anti Mafia Pangan menilai hal tersebut terjadi diantaranya karena pelaksanaan program biodiesel (biofuel) menimbulkan efek berupa peningkatan konsumsi CPO (crude palm oil) di dalam negeri untuk biodiesel. Alhasil konsumsi CPO untuk bahan pangan menurun drastis, teristimewa tatkala program B30 diimplementasikan pada Januari 2020 lalu.Â
Berkenaan dengan persoalan kelangkaan dan kenaikan hargaKoalisi organisasi non pemerintah yang beranggotakan Indonesia Corruption Watch (ICW), Solidaritas Perempuan, Konsorsium Rakyat untuk Kedaulatan Pangan(KRKP), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia juga mengungkap bahwa program mandatori biofuel tersebut mendapat kucuran subsidi nan besar, yakni 96,97% dari penghimpunan dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Mengutip keterangan Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Hadiyanto pada tanggal 21 Maret 2020 lalu, sebagaimana dilansir www.okezone.com menyebut sampai akhir tahun 2021 BPDPKS telah menggelontorkan dana sebesar Rp110,03 triliun untuk program insentif biodiesel.Â
Sementara peruntukan Dana Sawit yang lebih pokok sebagaimana perintah Pasal 93 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ("UU Perkebunan"), yaitu pengembangan sumber daya manusia, penelitian, dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana perkebunan hanya menerima alokasi relatif kecil.
Atas ketidakadilan pemanfaatan Dana Sawit tersebut, dengan tegas ICW mempertanyakan dasar hukum pemberian insentif biofuel atau biodiesel.
Terhadap pertanyaan tersebut pemerintah tentu dengan mudah dan percaya diri menjawabnya. Lantaran kebijakan publik yang mereka terbitkan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan telah diuji oleh lembaga yudikatif melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/HUM/2017.Â
Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/HUM/2017 ini merupakan jawaban atas Permohonan Keberatan/Hak Uji Materiil terhadap Pasal 9 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)Â Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan yang diajukan oleh Hermansyah, Hasan, Armadin, Rachmat, Tinggal, Nur Ayumi Siregar, Amaluddin Harahap, dan Abdul Rahim Harahap, semuanya adalah petani kelapa sawit rakyat asal Kalimantan Barat dan Sumatera Utara pada 05 April 2016 silam.
Dalam putusan tersebut mayoritas anggota Majelis Hakim berpendapat, pertama, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) tidak bertentangan dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 5 huruf c, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Kedua, bahwa secara substansi objek hak uji materiil telah sesuai dengan asas kejelasan tujuan dan kesesuaian antar jenis, hierarki dan materi muatannya dan dari segi landasan filosofis objek hak uji materil untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93 Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
Ketiga, bahwa adanya pengaturan tambahan adalah upaya untuk menjaga tingkat kesejahteraan antara lain dengan pembentukan infrastruktur pasar melalui penciptaan permintaan pasar yang lebih besar atas komoditas kelapa sawit antara lain melalui pemanfaatan kelapa sawit untuk bahan bakar nabati (biofuel) dan keberlanjutan usaha perkebunan kelapa sawit, dengan demikian penghimpunan dana perkebunan telah sesuai dengan tujuan pembentukan objek hak uji materiil yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;Â
Keempat, bahwa dengan demikian tidak terdapat pertentangan secara parsialistik, baik terhadap kewenangan maupun substansi peraturan.