Sudah hampir empat bulan melewati  tahun 2017.Tentu tak harus menggunakan kajiannya Paolo Friere mengenai kesadaran kritis.Cukup menjadi renungan bagi kita, berapa jumlah masyarakat atau Kelompk Swadaya Masyarakat (KSM)  yang kita dampingi. Berapa KSM yang bisa bangkit dan mampu berkreasi. Atau jangan-jangan pendampingan kita selama ini hanya sebatas tuntutan masterschedule,ritual quick status dan sitem informasi manajemen (SIM)  online, atau hanya menghabiskan dana pelatihan (PKM) yang tidak sedikit jumlahnya.Tetapi tergopoh-gopoh manakala kita  review out come dari pelatihan itu.
Tentu, kita tidak ingin mengulangi kesalahan berulang yang terjadi di masa lalu. Pelatihan itu sedikitnya membekas dalam otak masyarakat. Pelatihan itu bagian terpenting dalam merubah mindset masyarakat utamanya mengenai pentingnya kreatifitas. Tentu kami belajar dari berbagai kesalahan  masa lalu yang menilai masyarakat dianggap butuh uang, modal sebagai tambahan usaha, sementara kemampuan mengelola usaha tidak dibekali, manajemen berdagang juga tidak diajari, lantas tiba-tiba ada dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)  khusus mengenai pinjaman ekonomi bergulir.
Praktik seperti inilah jika meminjam istilah Edi Soeharto dalam buku Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (2005:vii) terjadi gerakan warungisasi karena semua penyandang masalah sosial  dinilai butuh tambahan modal. Padahal tak sesederhana itu, seringkali, kita memandang masyarakat terbelit persoalan uang, ekonomi, sehingga jalan keluarnya intervensi program berwujud  hutang-hutangan, pinjaman modal.Â
Paradigma konvensional yang menilai bahwa masyarakat yang tidak berdaya selalu dimaknai butuh pinjaman modal. Padahal di sisi lain pengembangan kapasitas, keterampilan akses informasi dan relasi sosial menjadi kunci agar masyarakat bisa bangkit dan berdaya
Peningkatan kapasitas menjadi salah satu katarsis perubahan masyarakat dari tidak berdaya menuju berdaya. Sebagaimana yang disampaikan Totok Mardikanto dan Poerwoko Subianto  dalam buku Pemberdayaan Masyarakat dalam perspektif kebijakan publik (2017:70-71) bahwa pengembangan kapasitas meliputi pengembangan keperibadian, profesionalisme di dunia kerja. Tentu ini menjadi bekal jangka panjang bagi masyarakat agar pinjaman modal tidak dijadikan satu-satunya upaya memberdayakan masyarakat
Pinjaman modal memang tak sepenuhnya keliru, tapi tak sepenuhnya benar. Pinjaman modal bagi warga miskin yang dikenal dengan sebutan (kk miskin) PS 2 dalam istilah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM MP) Â atau Mayarakat Berpenghasillan Rendah (MBR) Â istilah Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) mungkin menjadi jalan keluar, tetapi bisa juga menjadi masalah baru bagi warga miskin.Â
Oleh karena itu perlu kiranya memaksimalkan proses pembelajaran kita kepada masyarakat, memperbaiki cara pandang dan model fasilitasi kepada masyarakat. Bahwa yang dibutuhkan masyarakat tak hanya setumpuk uang untuk modal usaha, tetapi yang dibutuhkan masyarakat miskin adalah akses, kreatifitas, motivasi diri bahwa keberadaannya menjadi sumbangsih untuk bersama-sama membangun negeri.
Hanya orang yang memiliki kreatifitas dan etos kerja itulah yang mampu dan bisa survive,begitulah yang disampaikan oleh Parlindungan Merpaung dalam buku fulfilling life (2004: 218-2019)   tentang kreatifitas. Kreatifitaslah yang  dibutuhkan masyarakat, motivasi diri dan kreatifitas yang selalu disampaikan, dan diajarkan. Tak pernah lelah bersama masyarakat untuk memotivasi dan berkreasi, sehingga bisa meraih cita dan mimpi
Menghimpun dalam satu gerakan bersama dalam satu panggung kreatifitas tentu lebih memicu semangat.Kreatifitas yang berserak dikumpulkan menjadi satu kelompokakan menjadi daya dan magnit luar biasa. Itulah pentingnya sebuah kelompok. Selama ini sepertinya tak ada rasa untuk berkelompok, selama ini tak ada  rasa untuk memilki sebuah kelompok, rasa kangen, rindu, bersua untuk berkelompok sungguh tak tampak.Â
Yang terjadi adalah  berkelompok karena untuk mendapat pinjaman uang, mendapat pinjaman dari Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM).  Maka setelah mendapat pinjaman uang, kelompok pun bubar secara perlahan-lahan. Sejatinya itu bukan kelompok tetapi mirip dengan gerombolan yang hanya memiliki usia jangka pendek.
Nah rasa itu yang harus dibangkitkan, rasa itu yang harus dikelola, rasa itu yang harus dirawat. Karena rasa menjadi pondasi utama untuk melanggengkan segalanya, kita bisa membayangkan jika hidup sudah tak memiliki dan kehilangan rasa, rasa simpati, rasa empati, rasa memiliki dan rasa saling menghargai dan menghormati. Merawat rasa itu menjadi penting dalam sebuah kelompok, oleh karena itu keterlibatan semua pihak untuk merawatnya adalah menjadi niscaya, sehingga kelompok bisa langgeng dan abadi