TULISAN ini hadir menjadi bagian dari refektif-kontemplatif  di tengah menjamurya praktik plagiarisme naskah akademik Rancanngan Peraturan Daerah diberbagai Dearah Indonesia. Tulisan saudara  Adi Atmaja dikoran Tempo pada tanggal 1 Agustus menjadi bukti sohihmengenai kualitas dan integritas pejabat publik di Indonesia. Krisis moralitas bahkan intelektualitas menjadi pertanda  bahwa negara ini salah kelola. Maka  wajar,  manakala pelayanan publik sungguh memprihatinkan. mesikipun secara regulatif sudah diatur dalam UU No 25 tahun 2009 mengenai pelayanan publik. Â
Sejatinya, pejabat publik memiliki kemampuan dan kualifikasi yang memadai, sebagaimana yang disampaikan J.S Bowman (Baca. Etika Publik, 20-21) bahwa pejabat publik harus memiliki kompetensi teknis, Leadership, terutama  kompetensi etis. Kompetensi etis dijabarkan dengan detail seperti menajemen nilai, pengembangan moralitas publik dan etika organisasi. Â
Pelayanan publik yang prima tidak semudah yang kita bayangkan. Krisis etika dan moralitas yang mengendap dalam nurani para elit negeri ini  dan pejabat publik sudah akut. Dan semakin parah karena birokrasi yang feodalistik menjadi mental birokrasi kita. Mengedepankan pelayanan yang baik dan prima hanya menjadi diskursus semu yang usang ditelan waktu.  Alih alih mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, yang terjadi adalah justru para elitnya  melucuti prinsip-prinsip etis mengenai tata kelola pemerintahan dengan cara melakukan plagiat itu. Â
Naskah akademik yang diplagiasi oleh Kabupaten Bekasi adalah Kabupaten Malang, sementara Kabupaten Semarang telah menjipak Kota Magelang. Tentu perilaku amoral ini tidak terlalu mengagetkan, perilaku yang sama terjadi pada tahun 2016, dimana praktik plagiarisme itu dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Kota Pematangsiantar, keduanya diduga menjiplak tentang susunan perangkat daerah Kabupaten Jawa Barat dan Kabupaten Bantaeng
Satu bulan lalu tanggal 3-10 Agustus gelombang I pelatihan peningkatan kapasitas Askot dan Fasiitator mengenai memorandum program yang dilakukan di Hotel Singgasana Surabaya. Di tengah asyiknya membedah dokomen sektoral mengenai persoalan kumuh, di kelas I, dimana peserta pelatihannya adalah Askot Mandiri dan Askot Bidang, dengan dua studio sebagai objek kajian.Â
Studio satu mempelajari dan mengkaji fenomena kumuh Kab.Sidoarjo dan yang satunya Kota Madiun, setelah mengkaji mengenai berbagai fenomena kumuh, maka salah satu yang dikaji adalah dokumen sektoral Strategi Sanitasi Kota (SSK) Kota Madiun, mengejutkan dan menggelikan saat kita lihat dari Bab I sampai Bab IV, dibab IV Program Pengembangan Sanitasi Saat Ini Dan Yang Direncanakan  Tabel 4.2 masih tertulis Lokasi Kegiatan Kabupaten Bekasi. Bagaimana mungkin Kabupaten Bekasi bisa  muncul jika dokumen tersebut hasil produk Kota Madiun.  Winardi yang memandu di kelas I dan Studio Kota Madiun hanya senyum senyum, saya tidak mengerti apakah senyumnya itu pertanda untuk menegaskan bahwa perilaku pemerintah memang seperti itu  atau senyum yang lain.
Kita bisa membayangkan jika dokumen sektoral itu hasil plagiarisme yang tidak  sesuai dengan realitas dan fenomena kumuh yang terjadi di daerah tersebut, bagaimana intervensi programnya, siapa sasaranya, berapa jumlah orang atau rumah tangga yang belum memiliki sanitasi layak, lantas berapa anggaran yang harus dikucurkan untuk menuntaskan permasalahan sanitasi yang ada di Kota Madiun jika dokumen ini tidak berpijak pada realitas sosial dan persoalan yang ada di Kota Madiun, maka bisa ditenggarai bahwa dokumen itu hanya menjadi syarat normatif dan administratif untuk mengeruk anggaran, meskipun bisa dipastikan bahwa out putdan outcomedari kegiatan tersebut tidak bisa maksimal dan optimal.
Dokumen hasil plagiarisme tak lebih sebagai dokumen bobrok, maaf (sampah) yang tidak akan pernah menuntaskan persoalan. Data-data dan kajiannya yang mensyaratkan kajian sosial, kultural, hukum dan setumpuk metodologi sebagai kerangka akademik agar dokumen tersebut menjadi referensi dalam menyusun rancangan peraturan daerah.Â
Tentu kita tahu bahwa No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, secara eksplisit dijelaskan mengenai pentingnya penyusunan arah dan prioritas pembangunan iptek, baik nasional maupun daerah. Untuk membantu pemerintah dalam menyusun arah serta kebijakan pembangunan iptek, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk membentuk Dewan Riset Nasional (DRN), sedangkan Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk membentuk Dewan Riset Daerah (DRD).
Dalam konteks otonomi daerah, tentu ini sangat strategis dalam pengembangan dan percepatan kesejahteraan di daerah. DRD berfungsi sebagai lumbung data dan laboratorium yang menjadi pijakan strategis untuk menyusun regulasi yang berkaitan dengan aneka ragam persoalan yang ada di daerah, termasuk yang berkaitan dengan persoalan kumuh sebagaimana telah diatur dalam UU No 1 tahun 2011 itu.
Sungguh  sangat memprihatinkan manakala dokumen sektoral yang sejatinya sebagai media dan isntrumen dalam menyusun arah pembangunan dalam hal ini RPJM Daerah (RPJMD) hasil dari plagiarisme, maka wajar perencanaan pembangunan tidak mengambarkan dan menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat yang ada di daerah.  Padahal kebijakan pembangunan disusun untuk memecahkan masaah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, sempitnya lapangan kerja tentu juga terkait dengan persoalan kumuh yang menyandra daerah Kota/kabupaten. Dan kebijakan pembangunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat, pelayanan prima kepada masyarakat. ( Edi Soeharto, 62) lantas bagaimana mungkin pelayanan yang baik mengenai sanitasi, sementara dokumennya ahistoris, tidak sesuai dengan fakta yang ada.