Sikap inkonsistensi ini menimbulkan ketidakpastian hokum bagi pelaku usaha. Sebab, aturan baru ini mengharuskan pelaku usaha mengubah rencana bisnisnya, dari awalnya tahun 2022, sekarang menjadi 2020.
"Saya menduga, Permen ini hasil kongkalikong antara oknum pejabat ESDM dengan oknum pengusaha," jelasnya.
Said menilai Permen ini ibarat hantu yang tiba-tiba keluar tanpa proses. Hal ini mengkonfirmasikan adanya dugaan praktik KKN yang dilakukan pejabat di lingkungan ESDM dibalik terbitnya Permen ini.
"Permen ini pintu masuk terjadinya kejahatan kartel yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya pajak Negara," jelasnya.
Karena itu, Said mendesak Kementerian ESDM mencabut Permen tersebut. Pasalnya, Permen itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha smelter besar.
"Sudah jelas-jelas ketentuan ini dibuat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu saja, yakni perusahaan besar. Jadi, harus dicabut," ujarnya.
Said mengatakan terbitnya Permen ESDM 11/2019 tersebut pelarangan ini menjadi pada 2020 berimplikasi pada sisi kepastian hukum baik pada pertambangan atau end user-nya. Hal ini akan berdampak terhadap pelemahan ekonomi nasional.
"Ini akan jadi problematik konsistensi kebijakan pemerintah. Saya juga minta kepada Bakamla menghentikan upaya mensubordinasi tugas bea cukai dilapangan," terangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H