Mohon tunggu...
Said Rahman
Said Rahman Mohon Tunggu... profesional -

Blogger Ganteng - Muda - Gaul | An Inspiring Teacher | Web Developer | Singer @nasyidtirta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kepak Sayap Patah (Karena Cinta Begitu Berharga)

17 Juni 2011   18:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:25 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bak… Buk… “Ampun pa… ampun.” Ahh, lagi – lagi teriakan dia. Aku kembali duduk di pinggir jendela. Menyimak “pertempuran mulut” sekaligus permainan tangan bapak pada anaknya itu. Hari ini kesekian kalinya Dika, anak laki – laki kelas 5 SD itu, dipukuli oleh ayahnya dalam satu minggu terakhir. Aku hanya termangu, namun sesekali membayangkan perasaan anak itu. Entah itu marah, sedih, bahkan mungkin hati kecilnya terkoyak. Tadi sebelum marah kembali, ayahnya pulang dari sekolah. Kali ini ayahnya dipanggil oleh wali kelas dan kepala sekolahnya untuk membicarakan proses “DO” Dika dari sekolah. Dan sebagai seorang laki – laki dewasa aku paham kondisi ayahnya saat itu, marah besar. Ayah mana yang tak marah setelah dikhianati anaknya. Ayah mana pula yang sanggup menahan malu saat anaknya berulang kali mendapat masalah di sekolah. Ayah mana lagi yang bisa menahan amarahnya begitu tahu anak lelakinya harus dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. “Kurang apa lagi saya pak,” Laki – laki itu menangis di hadapan kami bertiga. “Saya membuatkannya sarapan hampir setiap hari. Menyetrika bajunya setiap pagi. Memenuhi kebutuhan sekolahnya selalu.” Dia masih terisak. AKu ikut sedih, mencoba memahami bahwa sekalipun ayah ini untuk Dika tidak pernah menyayanginya, tapi beliau ayah yang bertanggung jawab bahkan penuh kasih. Tapi keputusan kepala sekolah sekaligus ketua yayasan sudah bulat. Dika harus dikeluarkan agar tidak menjadi Virus bagi teman – temannya. Dika yang sekarang memang bukan Dika yang dulu lagi. Aku masih ingat, pelepasan anak – anak TK 3 tahun lalu. Dika adalah salah satu murid SD di yayasan kami yang terpilih untuk unjuk gigi karena hafalan juz ‘Amma nya cukup bagus. Dika juga anak yang penuh semangat dan rasa optimis. Itu terlihat saat dia mendapat tugas dariku menghafal Surat An-Nazi’at yang saat itu baru dihapalnya 20 ayat saja. Dia mengulang hafalannya setiap hari, kemudian “menyetornya” padaku setiap sore hingga dalam waktu dua pekan Dika yang saat itu baru duduk di kelas 2 SD menjadi siswa pertama yang hafal 5 surat pertama di juz 30. *    *     * Aku ingin menamparnya hari ini, seperti dia menampar mukaku dengan ganas. Aku malu bukan kepalang di hadapan ketua Yayasan dan Kepala sekolah. “Kamu benar ikut menonton film itu?” tanyaku penuh selidik. Dika terdiam tapi aku semakin tidak sabar hingga akhirnya Ibu ketua Yayasan ikut ambil suara. “Dika anakku, Ibu bertanya Dika harus menjawab dengan jujur. Ada Ibu, Pak Satria, dan Pak Toni disini. Juga ada Allah yang selalu mengawasi kita.” “Apa benar Dika ikut menonon film dewasa tersebut?” kali ini Ibu ketua yayasan yang bertanya. Dika masih diam. Aku mendekatinya, memeluknya. Kemudian dia menangis. “i..iya,” jawabnya tersedu. Deg! Kali ini aku ingin menamparnya. *    *    * “Pak, Dika sudah satu minggu ini tidak masuk sekolah lho,” lapor Bu Astri padaku. “Oyah?” Aku terkejut sekaligus penasaran. “Iya pak. Tadi saya mendapatkan laporan dari ayahnya bahwa Dika berangkat setiap harinya dari rumah. Tapi ya itu, sudah sepekan terkahir dia Alpa,” lanjut Bu Astri. Ahh… Apalagi ini? Sore harinya aku mampir ke rumah Dika. Ayahnya sedang bekerja, ibunya juga. Kulihat Dika sedang “ngemong” adiknya yang masih balita. Ku dekati dia. “Hari ini Dika kemana?” tanyaku. “Kenapa Dika membolos seminggu terakhir?” Dia diam sebentar. “Aku malu pak.” Aku duduk di sebelahnya. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Hari Senin aku terlambat. Aku malu masuk ke gerbang sekolah. Jadi aku, ke masjid saja dan menunggu di sana hingga jam sekolah usai.” Aku menggeleng. “Dika, satu pesan bapak untukmu. Menjaga hati tak hanya lisan, tapi pikiran. Kita harus senantiasa ingat bahwa ada Allah yang selalu mengawasi kita.” Ya Tuhan… hari ini aku menyadari bahwa anak ini berbohong dengan sangat meyakinkan. *    *    * Aku ingin menghentikan kegilaan – kegilaan ini. Yang aku pahami, saat ini Dika terjebak oleh pencarian yang liar. Bak… Buk… Ayahnya memukulnya kembali karena malu setelah tahu anak sulungnya itu tertangkap mencuri uang tetangganya. Aku ingin marah. Tak semestinya anak sekecil itu mendapat perlakuan kasar. Anak, seperti apapun dia adalah cermin dari orang tuanya. Seharusnya ayah maupun ibunya bisa berkaca, dimana yang salah atas didikan mereka pada Dika. Aku ingat salah seorang pembesar pernah menghukum dirinya sendiri lantaran anak yang disayanginya telah berani berbohong padanya. “Biarlah ayah berjalan kaki ke rumah sambil merenungi, dimana kesalahan ayah dalam mendidikmu,” kata pembesar tersebut pada anaknya yang terlambat menjemput ayahnya itu karena keasyikan bermain bersama teman – temannya. *     *     * Menjelang pembagian rapor, aku tidak melihat Dika sejak Ujian Kenaikan Kelas usai baik di rumah maupun di sekolah. Tapi aku mendapatkan laporan dari salah seorang temannya bahwa Dika menginap di warnet di komplek tetangga. Dika menjadi leluasa seperti itu karena Ayahnya mendapat jatah kerja Shift-3 sehingga baru pulang di pagi hari. Sedangkan ibunya, tak kuasa melarang Dika yang mulai berani membentaknya. Dan seperti yang aku perkirakan, di Rapat Kenaikan Kelas Dika menjadi perhatian penting sampai muncul keputusan itu dari Bu Astri wali kelasnya berikut Ibu ketua yayasan. Dika harus dikeluarkan. *    *    * 18 Juni 2020 Headline berita di televisi ini sungguh mengerikan sekaligus menyakitkan. GEMBONG PERAMPOK SEJUMLAH BANK AKHIRNYA MENYERAH Aku melihat wajah itu. Wajah dewasa anak didikku, Dika, menyeringai tertawa keras di balik jeruji besi. Astgahfirullahal ‘adzhim… Aku terbangun. Syukurlah hanya mimpi. Kulihat jam menunjukkan pukul 11 malam. Ternyata aku ketiduran di sofa sejak sehabis isya tadi. Kulihat di sebelahku, isteriku tertidur pulas. Mungkin sedari tadi dia menungguku untuk makan malam. Aku ingin membangunkannya, tapi melihat wajahnya aku menjadi tak tega mengganggu tidurnya. 7 tahun bersamanya, tak sekalipun terbersit niatku untuk meninggalkannya. Meskipun berulang kali dia memintaku untuk menikah lagi. “Aku ngga akan bisa memberimu keturunan mas. Mas boleh memilih wanita lain untuk memberikan mas generasi,” katanya usai operasi pengangkatan Rahim 5 tahun lalu. Tapi sejak itu aku semakin menyayanginya. Aku bahkan ingin terus bersamanya. Bersama bidadari ini sampai kapan pun. Aku bangkit dari sofa dan Kulangkahkan kaki ke teras rumah. Sabtu malam yang sungguh sepi, berbeda dari biasanya. Bapak – bapak yang biasanya bermain gaple di dekat pos kamling tak tampak. Anak – anak yang biasanya ramai bermain bulu tangkis di sebelah rumah juga tak ada. Aku memandang langit sebentar kemudian menoleh ke sekitar rumah hingga mataku menangkap sesosok anak duduk meringkuk di bawah bangku kecil di depan rumahku. Dika… Aku menghampirinya. Dika sedang menangis. Tak kusangka, Dika menghambur padaku. Ya Tuhan, pipinya memerah… pundaknya lebam. Dia memelukku. Isaknya semakin keras. “Hu..hu..hu..” “Berbicaralah nak,” aku mengusap air matanya. “Di..Di.. Dika diusir papa,” katanya sambil sesegukan. “Papa dan mama ngga sayang Dika…” Aku memeluknya erat. Kunjungi juga : http://bangsaid.com/kepak-sayap-patah-karena-cinta-begitu-berharga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun