Oleh: Muh. Ruslim Akbar
Tak dapat dipungkiri, manusia yang tinggal di perkotaan tentu lebih mudah dalam mengakses segala kebutuhan hidupnya. Mulai dari akses pendidikan, kesehatan, bahkan tempat hiburan atau rekreasi sebagai kebutuhan tersier lainnya.
Dengan berbagai kemudahan tersebut, tentu manusia akan merasa lebih bahagia dan beranggapan bahwa mereka akan lebih mudah terhindar dari stress maupun tekanan hidup jika mereka berada di perkotaan.
Apalagi, setiap manusia yang lahir tidak hanya membawa serangkaian genetik dari generasi sebelumnya. Namun juga serangkaian memori dari nenek moyang mereka. Termasuk tentang cara nenek moyang berinteraksi dengan manusia lainnya untuk tujuan reproduksi serta kelangsungan hidup mereka.
Kemudahan dalam memperoleh pekerjaan juga turut andil dalam meningkatnya arus urbanisasi. Tak ayal, di beberapa kota besar terkhusus di Indonesia mengalami lonjakan penduduk yang signifikan setiap tahunnya.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan di kota-kota besar yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi tidak menjamin bahwa manusia dapat mencapai perasaan bahagia yang mereka idam-idamkan sebelumnya. Sebab selain interaksi sosial, banyak variabel-variabel yang dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan manusia, misalnya dari tipe kepribadian ataupun tingkat kecerdasan seseorang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh psikolog evolusi, Norman Li dari Singapore Management University dan Satoshi Kanazawa dari The London School of Economics yang dipublikasikan oleh British Journal of Psychology, menunjukkan bahwa orang cerdas, bahkan lebih senang menyendiri dan menghindari interaksi sosial.
Norman Li dan Kanazawa menggunakan istilah "The Savanna Theory of Happiness" sebagai dasar pemikiran bahwa manusia merupakan masyarakat kuno pemburu yang juga senang berkumpul dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Mereka menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan hasil survei yang dilakukan kepada 15 ribu orang dewasa dengan rentang usia 18-28 tahun.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa manusia merasa tidak bahagia jika berada di area yang lebih banyak orang, namun justru merasa bahagia jika sering melakukan interaksi sosial. Dan Mereka yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi merasa lebih bahagia tinggal di area yang padat penduduk dengan sedikit interaksi sosial yang dilakukan.
Penelitian tersebut juga menunjukkan warga daerah pedesaan maupun kota-kota kecil lebih bahagia ketimbang mereka yang hidup di pinggiran kota. Warga yang tinggal di pinggiran kota, lebih bahagia ketimbang mereka yang hidup pusat kota-kota kecil. Warga di pusat kota-kota kecil lebih bahagia ketimbang mereka yang berada kota-kota besar.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang cerdas akan lebih ingin beradaptasi untuk berurusan dengan tantangan-tantangan baru yang akan dihadapi daripada harus melakukan interaksi dengan orang lain yang cenderung tidak produktif.
Orang cerdas juga memiliki tingkat yang lebih tinggi serta kemampuan lebih besar untuk memecahkan masalah evolusi baru, namun tak menutup kemungkinan mereka juga akan menghadapi kesulitan dalam memahami dan berurusan dengan perubahan itu. Sehingga mereka juga tetap membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya, terutama yang memiliki minat dan tujuan hidup yang sama.
Bukan berarti orang yang senang berinteraksi dengan banyak orang memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, sebab setiap manusia memiliki tujuan yang berbeda-beda yang hendak dicapai ketika melakukan interaksi dengan orang lain.
kebahagiaan merupakan pencapaian tertinggi dari hidup manusia. Dalam mencapai titik tersebut tentu setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda. Banyak variabel yang ikut mempengaruhi. Sehingga setiap manusia perlu mengenali dirinya sendiri sebelum menentukan cara yang mereka gunakan untuk mencapai kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H