Manusia telah mengalami perkembangan yang begitu pesat terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Mau tidak mau mengharuskan mereka untuk belajar dan memahami segala hal secepat mungkin. Kemampuan beradaptasi dalam kondisi lingkungan apapun merupakan suatu keharusan. Dengan kemajuan teknologi ini pula, manusia senantiasa dihadapkan oleh persoalan-persoalan hidup yang baru.Â
Teknologi yang awalnya bertujuan untuk memudahkan pekerjaan manusia, nyatanya tidak demikian. Maraknya berita bohong ataupun kebebasan berpendapat yang bahkan tidak dibarengi dengan etika bersosial media, hampir kita jumpai setiap hari. Bahkan sulitnya kita membedakan antara berita asli dengan berita hoax. Selain itu Keinginan dan kebutuhan yang seharusnya bisa kita tunda, lebih mudah terpenuhi dengan hadirnya sistem belanja online. Perilaku Riya' (pamer) lebih mudah terjadi disertai munculnya perasaan cemas dan rendah diri akibat membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain yang mereka lihat di media sosial, yang belum tentu sesuai dengan realita yang ada dan hanya akan menghabiskan energi pikiran dan jiwa yang tak berkesudahan. Mempublikasikan privasi yang tidak seharusnya menjadi konsumsi publik, tanpa sadar juga sering kita lakukan. Dan masih banyak perubahan perilaku yang sejatinya menuntut kita berpikir dan bertindak lebih bijak dalam menyikapi banyak hal saat ini.Â
Menjadi bijak butuh proses. Proses belajar dan proses memaknai peristiwa yang terjadi. Kedua hal itupun butuh waktu dan konsistensi dalam penerapannya. Ada banyak yang bisa kita lakukan untuk mengontrol aktivitas dan perilaku kita, salah satunya adalah dengan cara belajar dan meneladani cara hidup orang-orang bijak terdahulu yang sudah terbukti ampuh di zamannya. Jalaluddin Rumi merupakan salah satu tokoh penyair sufi yang terkenal karena sifat kebijaksanaannya dalam menyikapi banyak hal.Â
Jalaluddin Rumi yang bernama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering pula disebut dengan nama Rumi, lahir di Balkh pada tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 Hijriah atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Dalam agama Islam, nama Jalaluddin Rumi mungkin tidak sepopuler Nabi Muhammad SAW atau para sahabatnya yang acapkali terdengar bahkan sebelum kita duduk di bangku sekolah. Namun nyatanya masih kita temukan beberapa quotenya berseliweran di berbagai platform media sosial. Atau menyaksikan perbincangan orang-orang di youtube yang secara khusus membahas tentang cara pandang rumi, terlebih buku-bukunya masih dicari hingga saat ini. Bahkan, Jalaluddin Rumi telah menjadi penyair paling populer di Amerika Serikat (AS).Â
Beberapa hal di atas cukup membuktikan bahwa pemikirannya yang berjarak lebih dari 800 tahun yang lalu, masih relevan untuk diterapkan saat ini. Berikut beberapa pemikiran dari Jalaluddin Rumi yang bisa kita jadikan sebagai alat pengontrol diri kita dalam bersikap di era modernisasi dan kemajuan teknologi saat ini.
1. "Musik haram itu beradunya sendok dan garpu di meja makan orang kaya yang terdengar oleh tetangganya yang sedang kelaparan."
Beberapa dari kita mungkin masih bisa menikmati nasi hangat, dan lauk pauk yang cukup setiap hari. Kita juga bisa memesan makanan secara online apapun yang kita inginkan. Namun perlu diingat, disaat kita sulit tidur karena kekenyangan, mungkin ada tetangga kita yang masih terjaga karena kelaparan. Sehingga kita juga perlu mengetahui dan peduli terhadap kondisi orang-orang yang ada di sekitar kita saat ini.
2. "Hindarilah ketenaran dan sikap menonjolkan diri, pertahankan kesederhanaan dan rindukanlah ketiadaan. Oh merak, celakalah dirimu kesana kemari memamerkan keindahan bulumu."
Tidak dapat dipungkiri, sosial media saat ini bukan hanya dijadikan sebagai media komunikasi antar manusia. Namun, Â berpotensi untuk menjadikannya sebagai alat pamer kesuksesan dan kekayaan seseorang kepada orang lain. Sikap Riya' dalam agama, sudah tentu dilarang. Sebab boleh jadi hal tersebut membuat diri kita merasa jauh lebih hebat dari orang lain, dan berpotensi menimbulkan perasaan iri dan dengki terhadap orang yang menyaksikan. Buat apa kita senantiasa memamerkan harta yang kita miliki. Sebab ujung dari pada kehidupan manusia di dunia hanyalah kematian.
3. "Apapun yang hilang darimu, akan kembali dalam bentuk lain."
Sejak lahir kita tidak pernah membawa apapun. Apa yang ada pada saat ini melekat dalam kehidupan kita adalah karunia dari sang pencipta. Segala sesuatu yang diberikan oleh-Nya, adalah miliknya. Kehilangan harta, jabatan, saudara, atau teman tidak boleh menjadikan kita frustasi atau bahkan bersedih hati. Sebab tuhan akan mengganti yang hilang dengan sesuatu dalam bentuk lain. Boleh jadi hari ini kita kehilangan jabatan, namun esok akan datang jabatan yang jauh lebih baik buat kita.
4. "Jangan melihat ke luar, lihatlah ke dalam diri sendiri. Dan carilah itu."
Di era digitalisasi dan menjamurnya berbagai platform media sosial, membuat orang berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang sukses dan paling bahagia di dunia. Dampaknya akan memunculkan perasaan cemas dan rendah diri bagi orang lain akibat membandingkan dirinya dengan pencapaian yang mereka lihat di media sosial, yang belum tentu sesuai dengan realita. Yang ada hanya akan menghabiskan energi yang tak berkesudahan. Sebab setiap orang dilahirkan dengan karakter, jalan hidup, dan keluarga yg berbeda-beda. Mengenali potensi yang kita punya dan meningkatkan kualitasnya merupakan jalan terbaik, ketimbang selalu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain.
5. "Salah satu kekayaan kebajikan manusia adalah pintar menyembunyikan rahasia, penderitaan dan musibah."
Mungkin sebagian dari kita sering kali membaca postingan di berbagai media sosial yang isinya adalah keluh kesah ataupun mengumbar masalah yang sedang dihadapi. Bukankah setiap orang juga punya masalah yang mungkin jauh lebih berat dari masalah kita. Ada baiknya untuk menceritakan masalah hidup yang kita alami, hanya kepada sanak saudara atau teman terdekat yang kita anggap mampu memberikan solusi untuk masalah yang kita hadapi.
6. "Terdapat suara yang bukan kata, dengarkanlah."
Hampir sebagian besar manusia menghabiskan waktu mereka berada dalam dunia digital. Entah untuk urusan bisnis, komunikasi, atau sekedar mencari informasi dan hiburan. Perilaku dan kebiasaan seperti ini bukan tidak mungkin akan membentuk kepribadian anti-sosial dalam diri seseorang. Â Sementara, manusia diciptakan sebagai makhkuk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Penting sejenak untuk menaruh smartphone kita, dan keluarlah melihat dunia. Masih banyak kita temukan anak-anak yang berhenti sekolah karena kondisi ekonomi keluarganya yang tidak mampu. Tidak sedikit pula kita melihat orang tua yang seharusnya menikmati masa tuanya masih sering mengayuh becak di jalan. Sementara kita terkadang berfoya-foya untuk membeli barang yang sejatinya bisa kita gunakan untuk membantu mereka. Sekali lagi, terdapat suara yang bukan kata. Dengarkan.
Pada akhirnya, hidup di era modern yang serba digital saat sekarang ini seperti dua mata pisau. Dia akan baik jika kita lebih bijak lagi dalam menggunakannya. Jangan biarkan teknologi menjadikan anda kehilangan jati diri sebagai manusia. Jadilah bermanfaat untuk orang lain. Gunakan seluruh potensi yang terdapat dalam diri untuk berbuat baik. Dalam syairnya Jalaluddin Rumi berkata:
"Saudaraku, engkau adalah pikiranmu. Selebihnya hanya tulang dan daging."
Dan rumi terus menari..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI