Sungguh mengecewakan, bila tidak ingin disebut memalukan. Ternyata lembaga Standards and Poor’s (S&P) tidak jadi menaikkan rating Indonesia. Seperti dapat dilihat pada tabel di bawah, S&P tidak memperbaiki penilaiannya terhadap surat berharga/obligasi Indonesia sejak 21 Mei 2015 hingga 1 Juni 2016, tetap pada rating BB+ dan outlook positive (positif).
Obligasi suatu negara diberikan rating BB artinya obligasi tersebut: cenderung menghadapi ketidak pastian dalam menghadapi kondisi bisnis, ekonomi, dan finansial yang kurang menguntungkan (adverse) yang dapat mengarah pada ketidakmampuan obligor memenuhi kewajibannya.
AgencyRatingOutlookDateS&PBB+PositiveJune 1 2016S&PBB+PositiveMay 21 2015
Padahal sebelumnya banyak harapan (dan dugaan) S&P akan menaikkan sovereign rating Indonesia menjadi setidaknya menuju BBB bila masih belum sanggup mencapai A. Demi memenuhi harapan tersebut, berbagai rapat koordinasi telah digelar Kementerian Koordinator Perekonomian bersama Bank Indonesia (BI), juga melibatkan Kementerian/Lembaga yang membidangi Perekonomian. Bahkan demi harapan yang sama juga, Presiden sendiri dengan didampingi Menko Perekonomian sempat di-brief dan kemudian diwawancara langsung oleh tim S&P pada 10 Mei 2016 di Istana Negara. Sayangnya semua upaya tersebut menjadi sia-sia.
Situasi mengecewakan ini terjadi karena Menko Perekonomian dan BI tampak lebih sibuk dengan berbagai prosedur dan formalitas harmonisasi. Harmonisasi di sini adalah agar supaya di antara Menteri/Pejabat di lingkup Perekonomian menjadi satu kata dalam bersuara ke publik. Memang mengarahkan agar menjadi satu suara di depan publik cukup penting, tapi sebagai pejabat yang paling bertanggung jawab pada makro ekonomi Indonesia, Menko Perekonomian dan BI seharusnya juga dapat mengarahkan timnya untuk fokus pada hal-hal yang lebih fundamental. Tidak boleh aspek-aspek yang lebih fundamental dalam penilaian lembaga rating menjadi terlupakan.
Yang terjadi di sini malah Menko Perekonomian dan BI seolah melupakan tema dan partitur utama dari setiap rating, yaitu: pembengkakkan defisit anggaran, peningkatan utang pemerintah dan swasta, serta perlambatan ekonomi. Seperti diketahui, defisit APBN Indonesia telah melebar jauh dari target APBN 2015 sebesar 1,9% (Rp 222,5 triliun) PDB menjadi sebesar 2,8% (Rp 318,5 triliun) PDB.
Utang pemerintah dan swasta Indonesia juga meningkat secara signifikan sepanjang kuartal IV 2014 hingga kuartal I 2016 sebesar, berturut-turut, US$ 21,5 miliar dan US$ 22,6 miliar, yang bila diakumulasikan keseluruhan utang luar negeri Indonesia menjadi berada di posisi US$ 315,9 miliar (sekitar Rp 4200 triliun). Perlambatan ekonomi terjadi dalam dua kuartal berturut-turut, yaitu dari 5,02% di kuartal IV-2015 menjadi 4,9% di kuartal I-2016.
Hal lainnya yang tampaknya juga menjadi penilaian lembaga rating adalah: rendahnya penerimaan negara dari pajak dan tidak realistisnya target penerimaan negara dari pengampunan pajak (tax amnesty). Realisasi penerimaan pajak pada tahun 2015 hanya mencapai 81,5% dari target, dan pada tahun 2016 kemungkinan besar realisasi penerimaan pajak akan lebih buruk. Target tax amnesty Kementerian Keuangan sebesar US$ 12 miliar (1,3% PDB) dipandang terlalu tinggi.
Hal ini mengingat selama 20 tahun belakangan, dari 14 negara yang melakukan program tax amnesty, penerimaan pajak yang diperoleh pemerintah secara rata-rata sebesar 0.17% dari PDB mereka. Program tax amnesty yang paling sukses adalah yang dilakukan oleh India pada tahun 1997, itupun hanya berhasil mendapat penerimaan pajak 0,59% dari PDB-nya.
Menko Perekonomian Darmin Nasution dipastikan tidak membahas secara mendalam tema-tema utama tersebut dan juga tidak memiliki strategi-strategi untuk memperbaikinya. Hal ini dapat dipastikan, karena selama kepemimpinan Menko Darmin dapat dirasakan geliat makro ekonomi Indonesia seperti tidak ada roh dan jiwanya. Itulah penyebab sebenarnya dari kegagalan Indonesia mengejar perbaikan rating. Tahun lalu pada 21 Mei 2015 peringkat rating Indonesia di bawah komando Menko Perekonomian yang lama (Sofyan Djalil) berada di posisi BB+, kemudian bulan Agustus 2015 dillakukan reshuffle kabinet dan masuklah Darmin sebagai Menko Perekonomian yang baru. Tetapi nyatanya rating Indonesia pada 1 juni 2016, 9 bulan setelah reshuffle, masih seburuk yang sebelumnya, tetap di posisi BB+. Fiasco ini jelas sekali menunjukkan kepada kita semua tentang rendahnya kualitas pengelolaan perekonomian Indonesia. Suatu tanda-tanda yang amat mengkhawatirkan. (*)
(*Fiasco bermakna “sesuatu rencana yang tidak berjalan dan lebih merupakan suatu kegagalan, biasanya terjadi secara memalukan.”)