Esensi dari berpuasa adalah menahan diri. Program 1 bulan berpuasa adalah mekanisme training massal dari Tuhan untuk umatnya, agar bisa melembutkan hati.Â
Barometer keberhasilan dalam berpuasa adalah refleks empati yang luar biasa tinggi dalam menyikapi kondisi sesama yang kesulitan mengakses pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari.
Kelembutan hati menjadi sebuah hasil pasti jika puasa dilakukan dengan benar. Kerasnya hati meski dalam kondisi berpuasa mengindikasikan tidak begitu berhasilnya makna dan tujuan berpuasa.
Maka, penting sekali, dalam berpuasa, tetap mendawamkan kalimat istighfar secara tidak terbatas dan tanpa hitungan supaya hati ter bersihkan secara komprehensif.
Istighfar, adalah sebuah pengakuan diri, bahwa masih banyaknya dosa baik secara lahir dan batin, dalam kondisi berpuasa sekalipun.Â
Empati, berkorelasi positif dengan toleransi. Yang mana, 2 sifat di atas adalah salah satu resultan dari terkabulnya puasa yang dilakukan.
Pahala berpuasa, pada intinya tidak hanya bisa dirasakan di akhirat saja, namun bisa dipastikan dapat dirasakan juga di dunia.
Baiti jannati, begitu kata Nabi SAW.
Rumahku surgaku. Surga itu sudah dirasakan sejak di dunia.Â
Dengan memiliki hati yang lembut dan penuh kasih sayang, sesungguhnya sudah mengindikasikan tertanamnya cabang dari tanaman surga di dalam hatinya.
Kedermawanan menarik pelakunya ke surga. Kikir menarik pelakunya ke neraka.Â
Jadi, hati dan qalbu yang lembut dan penuh kasih sayang tanpa pandang bulu itu, adalah hati dengan nuansa surgawi.
Hati yang lapang tidak sempit, jernih dari prasangka adalah tujuan daripada semua perilaku ibadah.
Hati yang tenteram adalah milik hamba Tuhan yang diridhaii.
Tidak Membenci mereka yang tidak berpuasa adalah cermin lembutnya hati. Sedangkan melihat mereka sesama muslim yang tidak berpuasa dengan tidak membenci adalah juga cermin kesadaran yang lebih tinggi. Adalah sebuah cara pandang dengan kacamata kasih sayang ala Nabi.Â
Tidak menghakimi mereka yang tidak berpuasa meskipun mengaku muslim, adalah manifestasi kelembutan hati. Dengan memohonkan doa supaya mereka bisa berpuasa. Tidak dengan mencaci maki dan menghakimi mereka, layaknya kita sudah lebih baik dari mereka.
Bisa jadi, orang yang mungkin kita nilai sesat dan penuh dosa akan mendapatkan karunia khusnul khotimah.Â
Kelalaian dan kezaliman mereka kepada diri mereka sendiri, bukan wewenang kita menghukumnya. Sebaliknya, sebagai seorang muslim kepada saudaranya, jika kita memiliki kelembutan jiwa, maka biasanya kita akan merasa kasihan kepada mereka dan mendoakan agar mereka mendapat hidayah.
Adapun dengan mereka yang tidak berpuasa dan beda agama, maka sikap kita adalah memahami bahwa mereka memang tidak berpuasa. Seyogyanya, kita berperilaku biasa saja, ketika mengetahui umat beragama lain makan dan tidak berpuasa.
Toh, makannya mereka di hadapan kita tidak mempengaruhi tekad kita berpuasa, jika niat kita berpuasa memang bulat dan ikhlas.
Kita, tidak sontak minta dihormati dengan mungkin menghardik dan mengusir mereka dari hadapan kita.
Dan Nabi SAW, tidak pernah memaksakan kehendak dan agama pada pemeluk agama yang lain.
Demikian juga dengan para wali penyebar agama Islam di tanah Jawi yang begitu tinggi toleransi sehingga mengubah daging sapi dengan daging kerbau, untuk dimakan, demi menghargai pengikut agama lain yang memuja sapi.
Keberagaman adalah sebuah kepastian namun akan menjadi sebuah keindahan jika disikapi dengan toleransi dan saling menghormati.
Semoga amal ibadah kita di bulan puasa diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H