Mohon tunggu...
Bang Pilot
Bang Pilot Mohon Tunggu... Konsultan - Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Nama asli : Muhammad Isnaini. Tinggal di Batu Bara, Sumut. Hp/wa.0813 7000 8997. Petani dan penangkar bibit tanaman. Juga menjadi konsultan pertanian lahan gambut. Pemilik blog : http://bibitsawitkaret.blogspot.com/ . Menulis apa saja yang bisa bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harta Karun dan Horor dalam Dunia Aren

20 Januari 2021   00:19 Diperbarui: 21 Januari 2021   21:59 2733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5. Lamanya masa tunggu produksi tanaman aren. Masa tunggu yang sekitar lima tahun pada aren aksasi genjah dan tujuh tahun pada aren aksasi dalam serta sepuluh tahun pada aren aksasi tinggi, membuat petani kecil yang menggantungkan hidupnya dari hasil kebunnya menjadi sulit untuk beralih ke menanam aren. Dibutuhkan formulasi budidaya aren sistim tumpangsari (intercropping) yang baik agar kendala itu dapat teratasi. Sehingga petani aren tumpangsari masih mendapatkan penghasilan dari lahannya itu. Dan formulasi itu belum ada. Mari kita susun.

6. Adanya beberapa kasus penanaman aren yang gagal, produksi niranya hanya sedikit,  membuat orang berasumsi dan menyiarkan asumsi bahwa aren tidak dapat dibudidayakan. Dikatakan bahwa aren hanya bisa menghasilkan cukup banyak nira jika disadap dari pohon yang tumbuh alami, atau merupakan tanaman hewan musang, babi hutan atau burung.  Padahal kegagalan budidaya aren itu lebih karena belum pahamnya petani terhadap karakteristik khas kultivar aren. Terutama tentang jarak tanam yang benar. Sehingga, sekali lagi, masih dibutuhkan edukasi dan pendampingan yang baik bagi para petani aren.

7. Masih pekatnya hal-hal yang berbau mistis disangkut pautkan kepada aren, sehingga banyak orang yang menjadi gentar mendekatinya.  Padahal, semua kearifan lokal tentang aren itu, bila ditinjau dari segi yang positif, maka kita akan menemukan banyak sekali nilai kebaikan yang begitu luhur. Contoh : dikatakan bahwa penyadap aren tidak boleh bersenda gurau dengan manusia lain jenis yang bukan pasangannya. Jika petuah ini dilanggar, maka pohon aren akan merajuk dan tidak mengeluarkan nira. Padahal,  jika lelaki bersenda gurau dengan istri orang misalnya, itu memang tidak baik. Bisa terjadi carok. Atau apalah namanya. Yang mungkin akan berakibat fatal. 

8. Terbatasnya tenaga penyadap aren. Banyak orang yang ingin bekerja sebagai penyadap aren, karena penghasilannya yang besar. Tetapi tidak bisa dilakukan karena tidak memiliki keterampilan menyadap. Padahal pekerjaan menyadap aren itu termasuk pekerjaan yang tidak sulit untuk dipelajari. Semua oramng, lelaki dan perempuan, asalkan berani memanjat dan mau bekerja, akan bisa melakukannya. Karenanya, perlu dibangun pos-pos pusat pelatihan penyadapan aren di daerah-daerah. Dengan materi pelatihan berdasarkan sistim training of trainer. Sehingga para peserta latih nanti selain bisa menyadap aren dan  tahu bagaimana menjaga mutu nira aren, juga bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat di daerahnya. Salah satu syarat menyadap aren yang baik, penyadap harus bisa menghasilkan nira yang cukup, bersih, ph di atas 6,2 dan pohon aren tidak mati atau menjadi non produktif sebelum waktunya.

Bibit aren bersertifikat/dokpri
Bibit aren bersertifikat/dokpri
9. Panennya yang terbilang singkat. Aren adalah tumbuhan yang bersifat hapaxantic dan monocarpic. Berhenti tumbuh vegetatif setelah mulai tumbuh generatif, dan akan mati otomatis setelah semua bunganya keluar. Karenanya, rata-rata panjangnya masa panen aren adalah sama dengan panjangnya masa tunggu panennya. Hal ini dapat diatasi dengan teknik penanaman underplanting. Yang dilakukan saat tanaman periode pertama sudah mulai berproduksi. Tentu saja sebelumnya, jarak tanam awal harus diperhatikan bagi kepentingan underplanting ini. Dengan teknik underplanting ini, maka masa tunggu panen pada periode kedua dapat dikurangi secara signifikan.

10. Belum ditemukannya bahan pengawet nira aren yang cukup handal. Saat ini para pengrajin aren masih menggunakan pengawet nira yang alami dan tradisional. Pengawet nira dari kayu manggis, kayu nangka, buah sapat, raru ndupar, kayu salam, dan lainnya, daya pengawetnya terbilang masih kurang baik. Hanya mampu mengawetkan nira maksimal dua jam setelah diturunkan dari pohonnya. Sehingga nira sulit untuk dikirim jauh. Nira aren juga jadi sering rusak sebelum sempat diolah. Terutama pada nira yang berasal dari penyadapan aren yang jauh dari tempat pengolahan. Atau terlambat sampai ke dapur pemasakan nira karena jalannya melalui medan yang sulit. Menyebabkan gula aren yang dihasilkan menjadi turun kualitasnya. Karena itu dibutuhkan pengadaan pengawet nira aren yang baik dan tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau.

11. Mahalnya biaya untuk memasak nira menjadi gula. Kebanyakan para pengrajin gula aren masih mengandalkan kayu bakar untuk mengolah nira yang ia hasilkan. Dan karena proses pembuatan gula aren dari nira ini masih melulu mengandalkan teknik evaporasi tradisionil, yakni dengan cara pemanasan, maka tentu saja untuk menguapkan 85 persen air nira itu akan membutuhkan kalori yang sangat besar. Pengembangan penanaman aren secara besar-besaran bisa menjadi ancaman kelestarian hutan, jika masalah ini tidak segera dicarikan solusinya. Ada beberapa alternatif yang bisa kita usahakan bersama. Antara lain dengan membuat dan memperkenalkan tungku hemat energi semacam rocket stove, menggunakan biomassa seperti janjang kosong sawit, sekam padi atau serbuk gergaji sebagai bahan bakar alternatif, menggunakan bahan bakar dari oli bekas yang didorong dengan blower mini, membuat PLTA pyco hidro bagi daerah-daerah yang debit airnya berpotensi, mengeksploitasi tenaga surya menggunakan cermin cekung besar dengan regulator pengarah, menggunakan evaporator, dan mengembangkan alat pemisah air nira dari gula terlarutnya dengan sistim semi permiabel atau pun sistim reverse osmosis.

12. Masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan para perajin aren untuk memproduksi produk turunan yang memiliki nilai tambah yang cukup signifikan. Mereka belum paham bagaimana caranya membuat gula semut aren yang baik, membuat gula tualah, membuat gula cair, membuat gula kacang, dan lainnya. Para perajin umumnya hanya membuat gula cetak aren lalu menjualnya kepada pengepul dengan harga yang tergolong murah. Pengepul lalu menjual kepada pedagang besar, pedagang besar menjual kepada eksportir. Eksportir tidak begitu saja menjual gula cetak ini. Kebanyakan mereka mengolahnya terlebih dahulu menjadi gula semut dan gula cair. Mengemasnya sedemikian rupa lalu menjualnya ke luar negeri dengan harga berkali lipat lebih tinggi. Ada juga yang hanya mengemasnya, lalu menjualnya di pasar retail modern di dalam negeri dengan harga yang bikin mata saya terbelalak. Rp.46.000 per kilogram. Sedangkan di tingkat perajin hanya dihargai Rp.16.000-Rp.18.000 per kilogram. Karenanya, edukasi kepada petani dan perajin aren tentang teknik pengolahan produk aren, pengemasan dan marketingnya perlu mendapatkan pelatihan dan pendampingan yang serius dari mereka yang peduli. 

Pos-pos pelatihan pengolahan produk aren harus dibangun di sentra-sentra penghasil gula aren. Koperasi dan poktan harus didorong dengan sungguh-sungguh.  Pengurusnya dilatih agar pandai, terampil, berwawasan maju dan jujur. Kita janganlah sekedar membuat seminar-seminar yang menghabiskan banyak uang namun terhenti hanya sebatas itu saja. Semua harus dilakukan dengan serius dan nyata bermanfaat. Agar para petani dan pengrajin aren dapat jua menikmati makna dari sebuah kata yang bernama : sejahtera. Tidak lagi sekedar menjadi sapi perahan para tengkulak nan tak berjiwa patriotis.

13. Belum tersedianya mesin-mesin pengolahan produk aren yang baik dan harganya terjangkau oleh para pengrajin. 

Bila kita buka dan cari di market online, maka mesin-mesin seperti itu akan banyak ditawarkan orang. Namun sebahagian besarnya masih merupakan produk gagal. Banyak keluhan dari para pengrajin yang membeli dan memakainya. Selain itu, produk yang ada juga tidak sesuai dengan sumber daya alam lokal yang tersedia. Mesin pemasak dan pengaduk nira misalnya, semua masih mengandalkan bahan bakar berupa gas atau listrik. Gas masih terbilang mahal pada proses pemasakan nira yang butuh waktu lama, sekitar 6 jam. Sedangkan listrik berdaya besar tentu tak tersedia pada rumah-rumah pengrajin yang stoutnya kebanyakan  hanya berdaya 450 watt atau 900 watt. Karena itu, perlu dirancang dan dibuat peralatan pengolahan produk aren yang food grade dan bisa menggunakan bahan bakar sesuai dengan sumber daya alam yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun