Kebanyakan orang mengira bahwa tanaman lada (piper nigrum-pepper nigrum) alias merica alias sahang adalah tanaman yang sedikit membutuhkan unsur hara tanah. Anggapan yang salah ini mungkin terjadi  karena memandang bentuk pohonnya yang kecil, tidak berkayu, buahnya juga kecil-kecil dan perkembangannya yang cenderung lambat.
Padahal, menurut penelitian para ahli pertanian, tanaman lada ini termasuk tanaman yang rakus unsur hara tanah. Sebagai contoh, Yap (2012) melaporkan bahwa tanaman lada dewasa menyerap unsur hara makro N, P, dan K secara kumulatif dari tanah masing-masing sebanyak 393,1 kg N, 46,4 kg P2O5, dan 364,9 kg K2O/ha.Â
Jumlah hara diserap tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan Sim (1971), yakni 233 kg N, 39 kg P2O5 dan 207 kg K2O per hektar. Karena itulah kemudian para botanist menggolongkan tanaman lada sebagai high nutrient demand cropalias tanaman yang membutuhkan asupan nutrisi yang tinggi.
Lebih lanjut, Yap (2012) menganjurkan pemupukan NPK 390-62-352 kg/ha/tahun untuk tanaman lada umur 3 tahun. Di India, Thangaselvabal et al. (2008) menganjurkan formula pupuk NPKMg dengan kandungan 11-13% N, 5-7% P2O5, 6-18% K2O, dan 4-5% MgO.Â
Sementara itu, Waard (1979) melaporkan penggunaan pupuk organik yang disertai pemupukan inorganik 400 kg N, 180 kg P, 480 kg K, 425 kg Ca dan 110 kg Mg per hektar per tahun mampu mengurangi gejala penyakit kuning dan meningkatkan hasil lada secara signifikan.
Umumnya petani kita hanya memberikan pupuk unsur NPK sebanyak 0,2-1 kg/batang/tahun bagi tanaman yang sudah menghasilkan (TM). Padahal standarnya adalah sebanyak 2,4 kg pupuk NPKMgO/batang/tahun bila hanya menggunakan pupuk kimia saja, dan 1,8 kg jika aplikasi pupuk kimia NPKMgO Â dipadukan dengan pupuk organik semisal pupuk kandang atau pupuk kompos yang sudah difermentasi.Â
Kurangnya asupan pupuk pada perkebunan lada ini akan menyebabkan menurunnya produksi biji lada, dan juga menyebabkan hilang atau berkurangnya kandungan unsur hara tanah.Â
Tanah yang terus menerus kekurangan asupan unsur hara ini akan menjadi semakin kurus dari waktu ke waktu. Tanah seperti ini jika ditanami akan menghasilkan pohon lada yang berproduksi rendah dan rentan terserang penyakit karena pohon yang tidak sehat. Sayangnya, fakta miris ini adalah yang terjadi di lapangan.
Oleh karena itu, janganlah heran mengapa petani lada di India, Thailand dan Vietnam, yang rata-rata sadar standart asupan hara, berhasil memetik hasil berupa lada putih kering sebanyak lebih dari 2 ton perhektar pertahun, sedangkan petani kita hanya menikmati hasil kurang dari 1 ton per hektar per tahun.Â
Untuk mengatasi hal ini, maka kewajiban pemerintah untuk membantu para petani lada Indonesia, haruslah ditunaikan. Tentunya  lewat Kementerian Pertanian dan semua pihak yang terkait. Pupuk dengan harga yang terjangkau harus diadakan dan disalurkan secara merata sesuai kebutuhan petani. Bibit lada  varietas-varietas yang lebih unggul harus juga disediakan.Â
Kita tidak lagi bisa mengandalkan varietas-varietas tradisional seperti petaling, Â bengkayang, natar1, natar 2, LDK, LDB, chunuk dan kerabat-kerabatnya yang sederajat.Â
Petani lada kita butuh varietas baru yang produksinya lebih tinggi semisal lada lanjak/panniyur-1/panniyur 2 yang tandan buahnya lebih panjang, lada ceylon yang tak berhenti berbuah, pepper thekkan yang tandan buahnya bercabang-cabang dan lada viet yang potensi  produksi lada putihnya mencapai 11 ton perhektar pertahun tadi.
Petugas pertanian ini juga harus dibekali dengan ilmu yang cukup sesuai dengan bidangnya, agar ketika petani bertanya tentang solusi bagi masalah pertanaman lada yang mereka hadapi, tidak ada lagi jawaban klise "Maaf, saya hanya tahu tentang budidaya padi."
Penulis yang pernah melakukan pengumpulan data lapangan kepada para petani lada di Pulau Bangka, menemukan bahwa serangan penyakit kuning dan penyakit busuk pangkal batang adalah momok paling menakutkan bagi para petani lada di sana, sementara mereka tidak tahu bagaimana cara penangannnya. Padahal Bangka adalah salah satu sentra penghasil lada di Indonesia.Â
Miris memang, jika dulunya petani lada Thailand dan Vietnam datang belajar ke Indonesia untuk memahami pertanaman lada, kini malah petani kita yang dipecundangi mereka.Â
Hal ini bisa terjadi antara lain karena pemerintah Indonesia kurang baik dalam memenuhi  kewajibannya untuk mendukung dan mendampingi para petani secara lestari.
Sampai kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H