Baru saja diberitakan di Metro TV, bahwa Jokowi akan melakukan proyek kanalisasi lahan-lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan, dengan tujuan untuk mencegah kebakaran lahan gambut di kemudian hari. Asuminya adalah, kanal akan mengalirkan air, membasahi area gambut sehingga tetap aman selama musim kemarau. Salah satu pihak yang mendukung teori ini adalah BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Namun, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), menentang rencana proyek kanalisasi itu. Walhi berpendapat, kanalisasi malah akan membuat lahan gambut makin rentan terbakar di musim kemarau. Kanal akan mempercepat aliran air menuju sungai, hingga area gambut makin cepat mengering.
Walhi juga meminta agar Jokowi mau belajar dari kasus Proyek Lahan Gambut 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah, yang pengerjaannya dilakukan semasa era rezim Orde Baru. Faktanya, area hutan gambut yang sudah disodet-sodet itu menjadi lebih mudah mengering di musim kemarau, hingga akan mudah dibakar/terbakar saat sudah mencapai titik kekeringan maksimal di musim kemarau.
Walhi dan beberapa pakar gambut asal UGM mengusulkan solusi lain, yakni membuat sebaran sumur bor di lahan-lahan yang rawan kebakaran. Pengalaman menunjukan, kendala utama pemadaman karlahut adalah tidak tersedianya media pemadam api berupa air. Jika air cukup tersedia, maka proses pemadaman api bukanlah masalah yang terlalu berat. Terutama jika pemadaman dilakukan saat api belum membesar. Apalagi saat ini pemantauan keberadaan titik api sudah dapat dilakukan via satelit. Lokasi dan luasan titik api dengan cermat dapat ditunjukkan oleh perangkat indera pengintai panas buatan manusia itu, hingga sebenarnya pemadaman dapat segera dilakukan. Selain itu, pembuatan sebaran sumur bor juga biayanya jauh lebih murah ketimbang harus membuat kanal.
Lalu, mana yang benar, BNPB atau Walhi?
Penulis, dulu, di era rezim Soeharto masih berkuasa, pernah tinggal selama beberapa tahun di area gambut di sekitar daerah Petapahan, Riau. Gambut di sana termasuk gambut dangkal dengan kedalaman hanya sekitar satu sampai dua meter. Lapisan gambut itu berupa timbunan dedaunan, ranting `serta batang pohon yang membusuk. Dibawahnya, bentukan tanah liat muda berwarna putih kekuningan terlihat mulai berproses.
Sebagian besar area gambut yang dulu termasuk wilayah kabupaten Kampar itu sudah digarap, baik oleh petani perorangan maupun korporasi besar. Beberapa titik area transmigrasi juga dapat ditemukan, dilakukan dengan sistim inti-plasma.
Waktu itu, area garapan petani perorangan umumnya belumlah dibuat kanal-kanal saluran air. Akibatnya, setiap musim penghujan, lahan kebun milik petani jadi terendam air setinggi antara setengah hingga satu meter. Hal ini membuat tanaman kelapa sawit di area itu menjadi lambat bertumbuh kembang, karena setiap terendam air cukup lama, tanaman sawit muda itu akan stress karena kelebihan cairan dan sulitnya akar bernafas. Daunnya menguning, pertumbuhannya juga terhambat, tapi akan pulih dengan sendirinya jika musim kemarau tiba.
Para petani setempat lalu membuat paguyuban, menabung uang sedikit demi sedikit untuk biaya pembuatan kanal. Setelah menabung selama dua setengah tahun, akhirnya uang yang terkumpul pun dirasa sudah cukup. Eskavator lalu disewa. Upah dihitung permeter kubik volume kerja. Waktu itu tepat sedang musim penghujan. Alat berat pun bekerja di atas gambangan yang terbuat dari balok-balok kayu, yang memang masih banyak terdapat di area itu. Penyodetan dilakukan setiap jarak 400 meter, dan air diarahkan agar mengalir ke sungai kecil yang memang ada.
Setelah proses kanalisasi selesai, genangan air pun turun dengan cepat. Lahan terbebas dari banjir. Tanaman sawit aman sentausa, tumbuh kembang dengan cepatnya. Lahan perlahan mengering, jalan-jalan bisa dibangun, hingga akhirnya truk pengangkut TBS (tandan buah segar) pun dapat masuk sampai ke lokasi tempat pengumpulan hasil (TPH).
Memanglah, hukum gravitasi telah membuat air selalu mencari tempat yang lebih rendah. Jika ketinggian lahan gambut masih lebih tinggi daripada level air sungai pada saat musim kemarau puncak, maka pastinya kanalisasi hanya akan mengeringkan lahan yang rentan terbakar itu. Alih-alih akan menyelamatkan lahan gambut dari api yang meresap-resap, kanalisasi malah membuat lahan gambut mudah terbakar penuh asap. Janganlah bermimpi bahwa kanal akan menyimpan air, jika di saat yang sama di dekatnya ada sungai yang permukaan airnya lebih rendah, hingga siap menyedot air kanal.
Sejatinya, kanalisasi lahan gambut adalah sebuah cara yang lazim dilakukan para pekebun untuk mengeringkan lahan, hingga mudah membangun perkebunan kelapa sawit di situ. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Entah jika memang ini yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Atau, jangan-jangan, para pembuat keputusan sudah dikadali para pekebun besar yang ingin dibantu secara gratis mengeringkan lahan bakal garapannya. Walah!
foto : http://jambisatu.com/foto_berita/19pembuatankanalilustrasi.jpg
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H