Sebagai seorang Kompasianer bangkotan (nanti kalau ditulis Kompasianer senior, ada yang perottessh...), mengalami penghapusan tulisan oleh admin Kompasiana adalah bukan hal baru buat saya. Apalagi setelah itu, akan datang surat cinta dari admin, yang sifatnya menerangkan sebab penghapusan.
Surat pemberitahuan itu sudah cukuplah buat saya, meski pun isinya tidak merinci pasal demi pasal. Dapat dimaklumi, karena surat itu adalah surat universal yang dikirimkan oleh mesin.
Namun, ketika membuka Kompasiana hari ini, saya sedikit terhenyak. Ada satu tulisan saya yang dipublish beberapa hari lalu yang dihapus. Judulnya : Satu Gereja GIDI di Solo Ditutup Ummat Islam. Tulisan itu hadir di ruang regional.
Tulisan yang dihapus itu isinya murni berita, tanpa bumbu opini dari penulis. Sumber referensinya juga dicantumkan secara lengkap. Yakni status Facebook dari akun seorang teman. Berikut foto-foto penunjang yang berkategori asli dari lapangan, bukan ilustrasi.
Berita yang isinya senada, juga dapat dijumpai di sedikit media kelas pinggiran, semisal Solo Pos dan Islammedia. Bedanya hanya, media kelas teri itu tidak mencantumkan foto asli, hanya sekedar ilustrasi. Kejadiannya yang cepat, hanya kurang dari satu jam, mungkin membuat reporter mereka kesulitan mendapatkan gambar. Jadilah gambar ilustrasi dipampangkan sebagai sagu hati para pembaca.
Catatan : jangan harap menemukan berita itu di media arus utama, karena memang sudah jamak diketahui, berita seperti itu tidak sejalan dengan misi mereka.
Yang membuat saya miris adalah, saya tidak mengetahui apa sebab tulisan saya itu dihapus. Tidak ada pemberitahuan lewat fitur inbox (karena fitur yang lama memang sudah dibuang, yang baru tak jua kunjung selesai). Tidak juga lewat email, atau sms, atau, lewat telepati pun jadilah.
Saya jadi menduga bahwa tulisan saya itu dihapus admin karena isinya hoax. Tetapi ketika dikonfirmasi ke Mbah Google, tidak ditemukan adanya pihak yang sudah menyatakan bahwa berita itu adalah hoax.
Kalau pun dianggap plagiat murni, saya kira tidak juga. Hatta media arus utama pun sudah biasa mengutip berita dari media lain. Dan memang begitulah salah satu cara media online bekerja.
Intinya, Kompasiana harus segera berbenah. Semua fitur penting yang dulu pernah ada, harus segera dihidupkan kembali. Jika ada penghapusan tulisan, hendaklan penulisnya diberi tahu. Hilangnya satu tulisan, apalagi yang sudah diklik ribuan pembaca, adalah satu missed point buat pengunggahnya.
Kompasiana baru sekarang ini, bila dinilai secara keseluruhan, maka pencapaian nilainya belumlah ada setengah dari nilai Kompasiana versi lama. Karena itulah saya begitu bersemangat mendoakan (sambil bakar menyan) agar Kompasiana versi baru ini tidak bisa kelar sampai tanggal 1 Juli (yang lalu), karena ada kabar bahwa jika Kompasiana versi baru tidak selesai secara keseluruhan sampai pada tenggat waktu itu, maka Kompasiana akan dikembalikan ke versi lama.