Di antara sekian banyak pilihan tanaman keras di atas, hanya satu hal yang paling penting diperhitungkan. Selain masalah kemudahan budi daya, masalah harga, ijin dari birokrasi, dan lain-lain tetek bengek, maka menurut hemat saya, yang terpenting adalah : kemana menjual hasil tanaman itu. Atau, siapa yang mau membelinya?
Lima enam tahun yang lalu adalah masa kejayaan tanaman jati, jabon, sengon, mahoni, gaharu, cendana, anthurium, anggrek dan tanaman lainnya. Kini masa keemasan itu sudah berakhir. Sebagian besar dengan noda kekecewaan. Mengapa? Karena ternyata,pemasaran produk akhir tanaman itu tak seindah janji dan promosi yang dulu gencar dilakukan.
Janji dan perhitungan muluk-muluk dari pemerintah, dan terlebih lagi dari para penjual bibit tanaman itu, berbuah kepahitan. Petani tersadar saat jarang sekali ada orang yang mau membeli tanaman yang sudah terlanjur dibudidayakan mereka. Kalau pun ada, harga yang ditawarkan jauh di bawah nilai yang dulu digembar-gemborkan. Banyak pihak petani yang mengaku merugi, dan gigit jari. Impian indah berubah menjadi kecewa dan air mata. Sementara pihak yang dulu gemar mempromosikan tanaman ini dan itu, kini menghilang tanpa jejak.
Lalu, apa lagi?
Lalu saya sarankan untuk kembali ke dasar. Menanam tanaman yang hasilnya sejak zaman bahuela banyak dikonsumsi orang dan mudah memasarkannya. Serta yang nilai ekonominya cukup bagus.
Tanaman apa itu?
Aren yang ditumpangsarikan dengan singkong gajah.
Siapa yang tak tahu gula aren atau gula merah? Siapa pula yang tak mengenal keripik singkong, tepung ubi, gaplek tiwul getuk lindri, atau sekarang tepung singkong baru yang bervarian menjadi mocaf?
Gula merah dan ubi segar, tak perlu menunggu eksportir dari negeri antah berantah sebagai pembelinya, anda jual kepada tetangga saja pun, dijamin laku. Bawa ke pasar terdekat, kerumunan pembeli dan agen akan segera menghampiri.
Soal nilai ekonomi, jangan ditanya. Sudah jelas sangat menguntungkan. Satu hektar tanaman singkong gajah yang dirawat dengan baik, minimal akan menghasilkan 100 ton ubi segar, seharga 65 juta rupiah (harga pabrik). Dikurangi modal awal dan upah panen total sebesar 15 juta rupiah, petani masih kebagian 50 juta rupiah per 10 bulan. Itu artinya penghasilan petani sama dengan 5 juta perbulan. Padahal menanam singkong gajah dalam satu periode hanya membutuhkan maksimal 60 hari kerja. Delapan bulan yang lain, petani silahkan mencari kegiatan lainnya.
Pada tahun ke tujuh, saat aren sudah mulai menghasilkan, maka tentu pendapatan petani menjadi berlipat-lipat. 100 pohon aren yang mulai disadap, dari 200 pohon perhektar yang ditanam, juga memberikan pekerjaan kepada paling tidak 7 orang pengangguran lainnya. Karena kemampuan penyadap aren hanya mampu menyadap sekitar 15 pohon saja, setiap hari, pagi dan sore. Percaya atau tidak, seorang petani aren tak akan kesulitan menggaji para penyadap arennya dengan gaji bulanan rp.3 juta perorang perbulan. Dan petani itu sendiri akan mendapatkan uang sebesar 7 x 3juta = 21 juta perbulan.
Bagaimana perhitungannya?
Sudah kami tulis dalam artikel sebelumnya, silahkan dirunut.
Atau, anda hanya punya tanah bergambut dengan keasaman lumayan tinggi? Ya sudah, tanami dengan kelapa sawit saja. Toh, sudah banyak yang berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H