Mohon tunggu...
Bang Pilot
Bang Pilot Mohon Tunggu... Konsultan - Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Nama asli : Muhammad Isnaini. Tinggal di Batu Bara, Sumut. Hp/wa.0813 7000 8997. Petani dan penangkar bibit tanaman. Juga menjadi konsultan pertanian lahan gambut. Pemilik blog : http://bibitsawitkaret.blogspot.com/ . Menulis apa saja yang bisa bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tim Hore Para Politisi Busuk

17 April 2014   20:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘Menjadi pemimpin itu, hati penuh dengan konflik’

Kutipan di atas didapat dari sebuah film Mandarin.

Bila dicermati, kalimat dalam kutipan itu mengandung kebenaran. Setidaknya, kalimat itu dapat menjelaskan mengapa umumnya para pemimpin menjadi tergelincir dalam perjalanan kekuasaannya. Ada banyak pemimpin yang dulunya dielu-elukan orang ramai, di akhir hayatnya malah mati dengan nelangsa di tengah hujatan dan makian rakyat serta bekas pendukungnya.

Sama kita ketahui, banyak sekali kepentingan yang harus dihadapi oleh seorang pemimpin. Apalagi bagi pemimpin negara demokrasi seperti Indonesia. Mulai dari kepentingan dinasti, kepentingan partai, kepentingan donatur, kepentingan tim sukses, kepentingan pribadi sampai kepentingan luar negeri. Semua menuntut untuk diperhatikan dan diberi porsi yang cukup. Hingga tak jarang kepentingan rakyat menjadi terlupakan.

Betapa pun, politik tetaplah politik. Politik telah bergeser jauh maknanya, dari ‘seni untuk melayani rakyat’, menjadi ‘cara agar bisa berkuasa dan tetap berkuasa’.

Ketika pergeseran makna ini terjadi, maka halal haram pun menjadi abu-abu. Tak ada yang tak bisa dilakukan para politisi, ketika ia ingin mencapai target politiknya. Semua serba boleh. Bahkan piranti hukum pun dirancang agar para politisi busuk itu menjadi sulit dijangkau. Politisi di Senayan tentu tak bodoh, membuat tiang gantungan untuk dirinya sendiri. Kalau pun harus di gantung, mereka cenderung untuk memilih digantung di tempat yang keren, di Monas misalnya.

Siapa yang berkuasa, maka dialah yang membuat hukum.

Politisi kita, saat ini, hampir semuanya punya agenda tersembunyi yang akan menciutkan nyali, bila kita mengetahuinya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena sistim politik kita yang sudah sangat salah.

Sistim politik demokrasi kita sekarang adalah yang termahal di dunia. Sistim politik demokrasi kita saat ini adalah murni sistim kapitalis. Uang yang berkuasa. Uang yang bicara. Beli jual suara. Suap sogok pelaksana pilihan raya.

Uang berpuluh triliun juga harus habis, hanya untuk ‘memilih setan yang paling baik di antara setan-setan yang ada’.

Mengapa setan semua? Karena sistim politik kita yang memaksa demikian, hingga hanya setan yang mampu bertahan. Setan itu adalah sosok manusia yang harus bisa mematikan hati nuraninya. Hanya otak dan mulut yang dipakai. Hati nurani tak boleh ikut bicara. Agar kepentingan selalu terjaga.

Tak ada kawan yang abadi, tak ada lawan yang abadi. yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Kepentingan untuk bisa berkuasa dan mempertahankan kekuasaan itu.

Dimana moral? Dimana akhlak?

Sudah ditanam dalam-dalam, jauh lebih dalam dari sekedar sumur Lapindo. Jauh lebih gelap daripada kuburan korban Tim Mawar, dan jauh lebih kelam daripada temaramnya kasus BLBI.

Karena kita menganut sistim politik kapitalis tadi, maka tak heran jika kita melihat banyak caleg gagal yang stress lalu gila dan bunuh diri. Di sisi lain, caleg yang menang akan berupaya sekuatnya mengumpulkan uang, untuk membayar hutang dan membalikkan modal. Juga untuk persiapan pilihan raya yang akan datang. Jalannya, ya korupsi.

Lalu, rakyat awam kebagian apa? Rakyat kebagian remahan roti negara. Dan sekardus mimpi indah.

Sebagian rakyat yang lain diekspor ke luar negeri, menjadi kuli dan babu di negara orang. Lalu diembel-embeli sebagai ‘pahlawan devisa’. Ratusan, bahkan ribuan diantaramereka yang kemudian terpaksa meregang nyawa di tiang gantungan.

Lalu, mengapa masih ada saja diantara kita yang mau mengulangi perjalanan lingkaran setan tadi? Menjadi sukarelawan dan tim hore bagi para politisi busuk tadi? Padahal kita tahu bahwa dari sistim yang busuk, tak akan dihasilkan pemimpin yang baik. Padahal kita menyadari, bahwa mereka itu, ya itu-itu juga. Tak ada yang baru, kecuali beberapa boneka.

Kapankah kita akan sadar, bahwa selama ini kita cuma dibodoh-bodohi oleh para politisi busuk itu? Kapankah kita mau turun dari buaian pers yang merupakan corong politisi pemeras rakyat itu? Apakah kita akan mengulangi kesalahan yang sama beratus kali lagi?

Saat ini kita mengelu-elukan calon pemimpin dukungan kita, dan nanti kita akan mati-matian menghujat dan memusuhinya; saat ia membuka topengnya dan menunjukkan wujud aslinya.

Adalah tidak lucu, bila kita misuh-misuh ketika mengetahui Arjuna yang kita puja ternyata hanyalah Rahwana bertopeng Dasamuka. Mengapa tak lucu? Karena aku sudah mengingatkan !

***

Lihatlah sejenak ke belakang. Baca dan pahami sejarah. Bahwa kita belum pernah mendapatkan satu orang saja pemimpin yang gagah dan berhati mulia.

Pemimpin yang kita dapatkan, kebanyakan cuma orang-orang gagal. Ada yang gila berperang, ada yang gila memfitnah, ada yang gila kebebasan, ada yang gila pelesiran, ada yang gila harta, dan ada yang cuma seorang pecundang yang penakut.

Ke depannya, pemimpin macam apa lagi yang akan kita pilih?

Seorang Satria Piningit yang perkasa dan welas asih?

Halah, simpan mimpimu itu !

Tak ada itu !

Permata tak pernah lahir dari kubangan lumpur.

Dulu, memang pernah ada orang besar yang hatinya bersih, laksana seorang Agoes Salim, Soedirman, atau seorang Moehammad Hatta. Tapi setelah mereka, yang lahir hanyalah para Buto. Buto Ijo, Buto Terong dan Buto Cakil. Laki-laki dan perempuan sama saja. Buto semua !

***

Karena itu, janganlah sampai dirimu terhanyut wahai kawan.

Perang pena. Adu bacot. Sampai lupa diri. Memaki-maki temanmu. Padahal yang kau bela itu sejatinya bisa saja adalah orang yang akan memerasmu. Calon pemimpin yang kau dukung itu mungkin sajahakikatnya adalah orang yang akan menjual pulau-pulau, menggadaikan khazanah bangsa, memperkaya diri membabi buta.

Karena itu, biasa-biasa sajalah.

Jangan taklid buta. Jangan ciptakan kultus individu baru.

Tetaplah logis dan kritis, arif cermat membaca dan memahami keadaan.

Mau mendukung yang kerempeng, yang dagunya panjang, yang gemuk pendek, yang banyak bulunya, atau yang lain, sewajarnya sajalah. Tak usah terlalu menggebu-gebu. Nanti kalau ternyata dia tembelang, pecah temberang, kau tak terlalu sakit.

Percayalah kau, kawan. Aku nasehatkan kepadamu. Atau kau akan menyesal. Malu kau nanti kalau berjumpa dengan aku.

Oke? Piss!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun