Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memanusiakan Babi: Hukum Cangkok Jantung Babi

28 Desember 2010   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah mendapat buku dari kawan saya, yang judulnya kurang lebih, "Memanusiakan Babi'. Isinya membahas tentang beberapa kesamaan struktur dalam tubuh babi dengan manusia sehingga babi bisa dipakai untuk transpalansi dan cangkok jantung manusia dengan jantung babi. (Kalau ada yang salah tolong dikoreksi).

Baru-baru ini Mufti Mesir, Prof. Dr. Sheikh Ali Gomah Mohamad memfatwakan mengenai kebolehan cangkok hati dengan babi. Harian "Al-Sharq Al-Awsath" yang terbit di London, hari ini, Selasa (28/12/2010) melaporkan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Republik Mesir, Sheikh Ali Gomah yang boleh menggunakan katup jantung yang berasal dari babi dalam bedah jantung terbuka menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama Al-Azhar, dimana sebagian diantara mereka mengatakan bahwa menggunakan organ babi ke manusia tidak dibolehkan berdasarkan dalil yang menyatakan bahwa babi itu najis. Namun sebagian ulama yang lain membolehkan berdasarkan prinsip 'kaidah fikih' (ushul al-fiqh) "al-Dharuratu Tubihul al-Mahzurat" (Kemudaratan Membolehkan Yang Dilarang). Mereka sepakat bahwa untuk pengobatan dalam kondisi seperti ini masuk kategori 'darurat', sehingga dibolehkan menggunakan benda yang asalnya haram, berdasarkan fikih Mazhab Imam Hanafi, walau tidak direkomendasi oleh jumhur Mazhab Imam Syafi'i.

Fatwa Mufti tersebut menjawab pertanyaan mengenai perusahaan peralatan alat-alat kesehatan (medical equipment) untuk mengimpor alat-alat khusus seperti katup jantung yang diambil dari babi. Mufti memfatwakan bahwa tidak ada larangan mengimpor alat-alat khusus untuk melakukan bedah jantung terbuka yang berasal dari babi sebagai metode penyembuhan. Bahkan lebih lanjut Mufti menjelaskan bahwa hal-hal yang berasal dari babi setelah mengalami proses kimia kemudian menjadi glatine dsb tidak dinamakan babi lagi. Adapun mengimpor bahan dari babi langsung, untuk pengobatan masuk ke dalam kategori 'darurat', apabila tidak ada alternatif lain keculai itu, yang apabila tidak memakai katup babi itu akan menyebabkan kematian, atau kehilangan anggota tubuh, atau penyakitnya semakin membahayakan; atau terjadi cacat.

Lebih lanjut Mufti menjelaskan bahwa ada perbedaan pandangan diantara Mahzab Fikih. Menurut jumhur (mayoritas) Ahli Fikih bahwa babi itu najis, baik hidup maupun mati. Namun, sebagian Ulama mazhab Malikiyah berpendapat bahwa babi tidak najis bila hidup; dan masuk najis kalau mati (bangkai). Sebagaimana juga terdapat perbedaan para ulama mengenai materi yang berubah yang berasal dari yang haram, babi misalnya. Apakah masih dianggap najis atau suci. Mazhab Hanafi dan Malikiyah mengatakan menjadi suci, karena bertukar keadaan dan perubahan hakikat.

Pandangan Mufti mendapat tanggapan yang sama dari Prof. Dr. Abdul Mu'thi Bayoumi, Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dan anggota Islamic Research Academy Al-Azhar dengan syarat dalam keadaan 'darurat'. Demikian juga pendapat Prof. Dr. Abbas Shouman, Ketua Jurusan Dakwah dan Islamic Studies, Universitas Al-Azhar; dan juga Prof. Dr. Mohamed Abu Zeid Al-Amir, Dekan Fakultas Islamic Studies Universitas Al-Azhar Cabang Mansourah menambahkan kebolehan tersebut dengan ketetapan dokter ahli dan kejujuran kode etik kedokteran, berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur'an, 'Illaa madhthurirtum" (kecuali yang ada keterpaksaan bagimu).

Adapaun ulama yang tidak membolehkan antara lain, Prof. Dr. Abdul Muhdi Abd. Qadir, Ketua Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, dan Prof. Dr. Adil Abdullah, Guru Besar Bahasa Arab dan Syariah di Institut Du'at Kementerian Wakaf Mesir, dengan alasan yang dikemukakan bagi yang pendapat yang tidak membolehkan.

Wallahu A'lam bishawab,

Salam sehat,,,,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun