Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Banyak Jalan Menuju Korupsi...!!!

25 April 2010   17:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau dulu kita sering mendengar dan bahkan menghafal pepatah, 'banyak jalan menuju Roma', nampaknya pepatah tersebut harus dirubah menjadi 'banyak jalan menuju korupsi'. Korupsi dengan berbagai modus operandi, cara, model, dsb, nampaknya sudah menjadi darah daging dan bahkan 'darah' yang mengalir dalam diri kita. Seluruh 'otak' kita mungkin sudah dijejali 'fikiran' yang selalu ingin menyimpang, menilep, memanipulasi, dan segala bentuk kecuarangan lainnya. Mungkin masih ada diantara kita yang fikirannya masih bersih, murni dan 'jujur', tapi hal itu merupakan barang langka, bahkan masuk kategori 'aneh' (ghuraba atau gharib) sebagaimana pernah disabdakan dulu oleh Baginda Nabi Muhammad saw bahwa nanti di akhir zaman akan muncul bahwa kebenaran dan orang yang 'benar' akan dianggap aneh. Disini saya ingin share modus operandi 'fikiran' yang dipenuhi oleh libido korupsi, atau diistilahkan dengan 'komersialisasi' (beda nama tapi satu substansi dengan korupsi) di bidang pendidikan. Saya yakin bagi masyarakat Indonesia dan juga para Kompasinaer yang mempunyai putra putri yang akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, baik SMA maupun SMP dirundung pusing tujuh keliling. Proses penerimaan sekolah tinggat menengah Atas dan Pertama tersebut setiap tahun selalu berubah sistem dan cara serta metodenya, baik di ibu kota, kota besar maupun kota kecil, bisa jadi di desa kecil juga. Bila tahun lalu, misalnya ada yang namanya rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang namanya keren, karena konon bahasa pengantarnya sudah menggunakan bahasa Inggris. Kalau begitu adanya, ya sangat baik dan alhamdulillah. Tapi, sejak awal pihak sekolah, SMP misalnya, melakukan seleksi dan interview orang tua mengenai kesiapan putra-putrinya masuk ke kelas SBI, sedangkan biasanya setiap SMP favorit mempunyai beberapa kelas. Dalam interview dengan orang tua murid biasanya juga ditanya berapa gaji orang tua tersebut, dsb. Bila gaji orang tuanya tidak mendapat angka yang dianggap mampu, maka bisa hampir dipastikan  tidak bisa diterima di kelas internasional, karena uang SPP-nya bisa mencapai mencapai Rp. 500.000 per-bulan, dibandingkan dengan kelas reguler yang biasanya antara Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 perbulan, walaupun di Jakarta SMP tersebut sudah mendapat dana bantuan dari Pemda DKI dan Mendiknas, berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Biasanya disiasati dengan memberikan formulir yang diminta kepada wali murid untuk membuat pernyataan uang bantuan pendidikan sekolah (bahkan ditambah dengan kata suka rela). Bila dicek oleh pihak berwajib, lho wong wali murid suka hati menbantu pendidikan di sekolah, dsb. Banyak modus operandinya. Salah satu artikel di Kompas.com hari ini (25 April 2010) yang mengungkap berbagai cara komersialisasi atau korupsi dalam sistem pendidikan antara lain melalui Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI). Bagi orang tua yang berkantong tebal, - entah dari mana penghasilan orang tua siswa, semoga bukan dari korupsi, tapi tidak menutupi juga dari korupsi karena banyak jalan menuju kesitu - jadi sudah ribawi korupsinya, - tidak menjadi persoalan. Tapi bagi orng tua berkantong tipis, sudah jelas tidak dapat menyekolahkan anaknya di sekolah program RSBI tersebut, walau mutu dan kemampuan kelolanya masih dipertanyakan. Cuma namanya saja 'internasional'. Dan masih banyak lagi, saya kira, diberbagai tempat, bidang, dll, ruang untuk 'banyak jalan memuju korupsi', termasuk di dunia pendidikan yang membuat miris hati rasanya. Kemana hasil pajak yang dibayarkan rakyat sIndonesia elama ini, konon katanya perhari ditargetkan sebesar Rp. 1.6 trilyun pendapatan negara dari pajak. Wallahu A'lam menguap kemana??? Kompasianer sudah mafhum dech soal ini. Tapi di negara maju, justru pajak itu menyejerahterakan rakyat. Untuk melihat lebih lanjut artikelnya, klik disini: http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/25/22002224/Komersialisasi.Pendidikan.Merajalela-4 salam trenyuh dunia pendidikan tanah air

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun