Sekarang ini fenomena pakaian Muslim ala-ala banyak beredar. Ada ala Pakistan/Afghanistan. Ada ala Arab Saudi. Sedangkan di selain dua negara tersebut tidak ada tidak ditiru alanya. Misalnya ala Arab Maghribi. Saya sendiri yang pernah tinggal di ketiga negara tersebut (Pakistan, Arab Saudi dan Maghribi) tidak tergiur-giur amat dengan pakaian ala mereka. Karena itu bukan pakaian Muslim yang sesungguhnya. Maksud saya dalam berpakaian Nabi Muhammad saw tidak menegaskan dalam hadist harus seperti pakaian ala Pakistan/Afghanistan maupun ala Arab Saudi. Nabi Muahmmad saw bersabda dalam berpakaian harus dan wajib menutup aurat. Itu yang pokok. Selama menutup aurat maka itu adalah pakaian Muslim. Apalagi saat ini sudah banyak salah kaprah karena ditambahi embel-embel 'syar'i. Bahwa pakaian yang menurut aurat adalah semuanya syar'i. Hanya orang-orang tolol saja yang menambah-nambahi hal seperti itu, dengan dikit-dikit syar'i, seperti ruqyah syar'i. Gebleg.
Nah sesuai dengan perkembangan zaman, banyak pakaian ala-ala negara ektrimis dan garis keras tadi (karena dunia Islam tidak selebar daun kelor, dan dalam keluasan wilayah itu ribuan model pakaian sesuai dengan budaya mereka. Muslim Afrika hitam beda dengan pakaian Muslim Arab Teluk. Pakaian muslim Arab Teluk juga berbeda-beda variasinya, seperti tob Arab Saudi beda dengan Emirat, Oman, Qatar dsb. Begitu juga Arab Maghribi. Kemudian juga Arab Mauritania, dsb).
Di Indonesia, khususnya di Jakarta berkembang pakaian isbal, jenggot dan sorban yang menjadi ciri Islam. Padahal sebagaimana yang saya jelaskan diatas tidak ada ciri khusus. Ciri utamanya adalah menutup aurat. Sedangkan ciri-ciri yang ada dalam berpakaian tiap negara adalah ciri budaya negara setempat. Yang mengkhawatirkan - karena kepicikan dalam wawasan - adalah yang tidak berpakaian ala mereka bukan Muslim atau tidak mengikuti sunnah. Astaghfirullah...
Tapi kebanyakan mereka yang berpakaian cingkrang dan berjenggot, nauzubillah - masih banyak yang tidak bisa membaca mahkraj bahasa Arab alias bahasa Al-Qur'an. Tidak sedikit diantara mereka - yang saya tahu di masjid lingkungan saya - membaca " Allhumman Shalli ala sayyidina Muhammad" saja masih belepetan makhraj huruf shadnya. Alias gak becus. Apalagi maknanya, apalagi memahaminya secara mendalam. Jadi, ini merupakan problematika umat Islam, yang hanya memandang Islam dengan formalisme. Kalau sudah berpakain ala mereka sudah Muslim kaffah. Formalisme awi....kata orang Mesir dalam logat amiyah
Hari Senin lalu (22/12) saya jalan-jalan ke Bogor. Tentu saja yang namanya jalan-jalan adalah nyantai, juga coba-coba naik kereta Komuter Line. Di Bogor sore itu ketika pulang hujan deras. Sungguh saya menikmati guyuran hujan. Kalau banyak orang-orang menghindari dari basah, saya jsutru menikmatinya. Adem tenan..
Ketika sudah sampai beberapa stasiun, ada penumpang berpenampilan biasa saja. Memakai batik lengan pendek dan kepala tidak berkopiah apalagi sorban. Cukuran rambutnya juga cepak. Artinya penampilan awam dan umum laki-laki di ibu kota. Sedangkan saya berpenampilan lebih nyantai lagi, lebih kentara penampilan 'anak kolong' karena memakai topi (pet), baju lengan pendek di keluarin. Pokoknya gaya preman kaya gitu dech. Tapi, tiba-tiba si Bapak tadi mengeluarkan sebuah buku kitab kuning yang tentu saja bertulisan bahasa Arab gundul alias tidak berbaris. Dalam hati saya dia mau pergi ke pengajian belajar di suatu tempat di Depok. Sayapun bertanya, bisa membacanya? Lalu bukannya dijawab. Malah dia mau ngetes saya membacanya dan dia mau dengerkan. Saya tidak jawab lagi, dan saya tanya dia belajar dimana bahasa Arab begitu? Dijawabnya, belajar di Makkah pada Sayyid Maliki. (Sayyid Maliki adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, seorang ulama dan doktor ahli hadits lulusan Universitas Al-Azhar Mesir yang banyak menelorkan ulama-ulama di dunia Islam, termasuk Indonesia. Beliau bermazhab Maliki, namun mengajar murid-muridnya sesuai dengan mazhab asal murid-muridnya. Jika murid dari Indonesia maka yang diajarkan adalah mazhab Syafii. Tidak seperti ulama Wahabi yang mendoktrin dan memaksa murid dan mahasiswa harus ikut mazhab mereka. Maka fenomena Wahabi menjadi marak di Indonesia, Jabodetabek yang dikit-dikit membid'ahkan, mengkafirkan, mensyirikkan mazhab Imam Syafii akibat kebodohan dalam menyerap ilmu Islam, wabil khusus mazhab Imam Syafii. Saya istilahkan mereka adalah corong Wahabi).
Singkatnya, kami saling berkenalan. Saya juga akhirnya ditanya dimana belajar bahasa Arab dan Islam karena faham bahasa kitab kuning gundul. (komunikasi kami di kereta itu dalam bahasa Arab sehingga penumpang lain banyak yang tertegun). Saya jawab, alhamdulillah saya alumni Al-Azhar Mesir, lalu lanjut ke Islamabad, lalu lama tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan juga di negara Arab Afrika Utara. Cukup lama di Tim-Teng, lebih dari 20 tahun. Kegiatan dia saat ini juga mengajar di berbagai pengajian dan majlis taklim. Saya juga demikian katika dia tanya kegiatan saya. Cukup banyak akhirnya kami mengonrol.
Yang menjadi catatan disini adalah pandangan salah kaprah jika kita hanya memandang Islam sebatas dari sisi formalisme beragama, dalam kasus ini berpakaian. Padahal banyak kita temui yang mengaku berpakaian paling Islam justrtu paling tolol dalam ilmu keislaman. Sepotong ayat saja masih belng-bentong (ngawur) bacanya.
Jadi, tampang dan penampilan boleh nyantai tapi ilmunya tabahhur bagaikan laut. Saya jadi ingat penampilan yang sama dan gaya begitu pada salah seorang guru dari Muallim M. Syafii Hadzami (Muallim Syafii Hadzami, seorang ulama tabahhur dari tanah Betawi) seorang ulama dan guru yang tabhhur ilmunya namun penampilan biasa saja bahkan tidak lazim penampilan ulama. Saya juga pernah coba-coba ketika saya berpenampilan memakai tob, bersorban dan atribut keulamaan lainnya, banyak para hadirin yang mencium tangan saya. Namun, karena saya tidak mau, dan selalu saya tarik tangan saya jika ada yang mau menciumnya. Karena saya adalah bukan apa-apa. Karena saya masih tahu dengan kepala sendiri tokoh di masjid dekat rumah saya yang kualitas intelektulanya biasa saja - karena kebetulan teman kuliah saya dulu yang tidak lulus-lulus - namun saat ini dituakan di kampung yang dicium tangannya. Makanya, saya tidak mau menjadi bodoh yang cuma ingin dicium tangannya.
Makanya, jangan melihat seseorang dari zahirnya. Banyak maling yang berpenampilan keren dan berdasi pula, dsb. Wallahu A'lam.
salam damai,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H