Hanif mengangguk dan tersenyum.
"Kamu tahu arti namamu?"
"Lurus."
"Ya, lurus. Ayah ingin kamu jadi orang yang lurus. Lurus sejak dari niat. Ayah juga ingin lurus. Maka sedapat mungkin amal baik kita hanya Allah yang tahu."
Hanif memeluk ayahnya. Perasaan sedihnya telah menguap di udara. Ia bangga dan bahagia memiliki seorang ayah yang dermawan dan rendah hati.
Pak Manan mengusap-usap rambut Hanif, lalu berkata, "Ayah bangga. Kamu mau menyisihkan uang jajan buat infak ke masjid atas nama Ayah."
Kedua anak beranak itu masih terus berpelukan. Pak Manan merasakan keharuan yang dalam. Hanif mengulas senyum di bibir dan hati. Ia tak akan sedih lagi bila nanti kawan-kawannya mengatai ayahnya sebagai orang kaya yang pelit. Akan ia hadapi dengan senyuman. Ia pun akan terus mengajak teman-temannya untuk bermain di lapangan rumput kecil di depan rumahnya. Ia yakin, suatu hari nanti pasti ada yang mau bermain lagi dengannya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H