Sudah lebih dari setengah jam, di kamar pengantin itu, kami tak saling bicara. Jihan, perempuan yang pagi tadi disahkan jadi istriku, terus saja menyulam. Tampaknya ia telah mempersiapkan diri dengan kesibukan yang cukup untuk melewati malam ini, malam yang biasanya dinanti-nanti oleh sepasang pengantin. Sementara, aku hanya bisa salah tingkah. Terkadang aku duduk di tepi ranjang, terkadang mondar-mandir, terkadang berbaring.
Sesekali kupandang ia. Ia adalah seorang perempuan dengan paras dan tubuh yang menggoda. Atas nama hak dan kewajiban, aku bisa saja memaksanya melayaniku. Aku bisa saja mengingatkannya bahwa hubungan suami istri adalah ibadah wajib. Nafsu yang kumiliki malam ini adalah nafsu yang sah dan direstui oleh langit.
Ada tiga macam alasan hubungan badan, kurasa. Pertama, karena cinta. Kedua, karena nafsu. Ketiga, karena kewajiban. Yang paling indah pastilah ketika ketiganya bercampur dalam satu harmoni. Harmoni itu tak akan ada malam ini.
Kami tak saling cinta. Kami naik pelaminan karena desakan perjodohan. Mungkin aku merupakan pihak yang lebih diuntungkan. Aku tak lagi muda. Usiaku menjelang tiga puluh lima. Aku tak punya cukup waktu dan cukup siasat untuk mencari istri. Pergaulanku terbatas. Kesibukanku sebagai seorang peneliti yang tengah mencari obat kanker rahim paling mujarab sangat menyita waktu. Sekarang, tak perlu berpayah-payah, kudapatkan seorang istri yang menawan. Tampaknya berbeda dengan Jihan yang usianya belum lagi dua puluh lima. Pernikahan ini adalah petaka baginya. Entah. Aku tak cukup mengenalnya. Aku hanya mengenalnya melalui cerita ayahnya kepada ayahku yang kemudian meneruskannya kepadaku. Tetapi, melihatnya tekun menyulam, bisa kuraba, malam ini baginya adalah musibah.
"Memang masih ada ya kawin paksa di zaman ultra modern begini?" tanya seorang rekan saat kukabarkan bahwa aku akan menikah dengan seorang perempuan pilihan orangtuaku. Pertanyaan retorik. Tak perlu dijawab.
"Kamu kan bisa menolak," ucapnya lagi.
Bisa saja kujawab bahwa aku tak sepenuhnya keberatan dengan perjodohan itu. Bisa saja kukatakan kepadanya pikiran nakalku, bahwa akan kujalani saja dulu. Kalau nanti tak cocok dan menyebalkan, kuceraikan istriku. Akan tetapi, kupilih untuk memberi jawaban yang berbau filsafat. Benar tidaknya, aku tak peduli.
"Begini," kataku. "Setiap orang memang bebas menentukan pilihan. Tetapi, sebebas-bebasnya orang, ada bagian dalam hidupnya yang didikte oleh orang lain. Kita tak sepenuhnya manusia. Ada bagian yang tetap boneka." Ia hanya menggelengkan kepala berkali-kali. Aku terbahak-bahak, dalam hati tentu saja.
Aku berdeham, mencoba menarik perhatian Jihan. Perempuan itu terus saja menyulam. Tak sesenti pun ia mengangkat kepala. Kesal hatiku dibuatnya. Aku kan suaminya. Aku berhak untuk ia perhatikan! Bahkan aku berhak untuk ia layani! Tetapi, tiba-tiba aku teringatkan Makcik Bedah. Zubaidah, lengkapnya. Ia satu-satunya adik perempuan Ayah.
Aku sangat dekat dengan Makcik Bedah. Semasa aku kecil, Makcik sering bercerita hikayat Melayu kepadaku dan adik-adik. Â Ia yang membuatku mengenal legenda Puteri Gunung Ledang, seorang puteri jelita yang secara tersirat menolak pinangan raja dengan memberikan syarat-syarat yang muskil.
Suatu hari tak ada angin tak ada hujan, Makcik berpesan.
"Kita tak tahu masa depan ye Bang." Makcik selalu memanggilku Abang.
"Boleh jadi nanti Abang dijodohkan dengan seorang perempuan. Engkau orang berdua tak kuasa menolak, sehingga jadilah suami istri. Ingat ye Bang. Jangan Abang paksa dia. Tunggu dia rela."
Kalimat terakhir itu membuat mendung di mata Makcik. Aku paham apa yang membuatnya sedih.