Saya baru saja naik kelas tiga SMP ketika permohonan Bapak saya untuk tugas belajar ke Jogjakarta dikabulkan. Berita ini kami sambut gembira, karena dua alasan. Pertama, semangat Bapak untuk sekolah memang sangat tinggi. Bapak menjadi pegawai di pertambangan bauksit Kijang dengan bermodalkan ijazah SD. Sambil bekerja Bapak menamatkan SMP, mengambil kursus Bon A dan Bon B, kemudian bersekolah juga di SMEA.
Setiap hari, sepulang kerja Bapak mengendarai Vespa ke Tanjung Pinang yang berjarak sekitar 26 km. Anaknya sudah enam orang ketika itu. Jadi, melihat perjuangan yang demikian itu, mendapatkan kesempatan kuliah di Jogja sungguh berkah yang luar biasa bagi Bapak.Â
Alasan kedua, tugas belajar Bapak membuka kesempatan bagi kami untuk bersekolah di Jawa. Â Kalau tak diberangkatkan oleh perusahaan, sepertinya mustahil bagi kami untuk menginjak tanah Jawa. Apalagi menikmati pendidikan yang lebih baik di Jogjakarta.
Karena kuatir saya tak bisa mengikuti tingginya level pendidikan di Jogja yang bisa jadi membuat saya tak lulus SMP, Bapak dan Mamak memutuskan untuk meninggalkan saya di Kijang hingga lulus SMP. Saya dititipkan ke sebuah keluarga Tapanuli baik hati yang telah menjadi keluarga kami di tanah rantau. Kami memanggilnya Uwak.
Saya tidak tahu bagaimana persiapan Bapak-Mamak sebelum berangkat ke Jogja dan bagaimana pula pembicaraan mereka dengan Uwak. Yang jelas, saya ditinggali dengan hanya sedikit uang. Saya tak perlu bayar uang sekolah tiap bulan. Mungkin Bapak sudah melunasinya untuk setahun.
Sepatu baru dan buku-buku telah disiapkan. Makan tiga kali sehari sudah tersedia di rumah Uwak. Pergi-pulang sekolah, cukup berjalan kaki. Praktis, boleh dikata uang tak saya perlukan. Paling-paling untuk jajan sekadarnya. Terkhusus selepas pelajaran olahraga.
Manusia berencana, Tuhan menentukan. Jalan yang dikira mulus, rupanya dihiasi bebatuan pada beberapa bagian. Dan bebatuan bagi jalan mulus saya adalah pelajaran Prakarya. Untuk nilai rapor, guru memberikan tugas kepada para murid membuat karya apa saja.
Saya seperti kena tinju di uluhati. Mau bikin apa? Uang tak ada. Mau minta ke Jogja, takut tak cukup waktu. Minta Uwak, segan. Mereka sudah sangat baik kepada saya.
Berhari-hari lewat dalam kebingungan. Saya lihat pekerjaan kawan-kawan. Ada yang membuat pembatas buku dengan triplek yang digergaji meliuk-liuk. Ada yang membuat miniatur rumah, kandang hewan peliharaan yang lucu. Macam-macam. Semuanya mengintimidasi saya. "Mak, matilah aku", batin saya.
Sampai suatu kali saya melihat album perangko koleksi saya. Ada dua album. Satu untuk perangko dalam negeri. Satunya lagi untuk perangko luar negeri. Saya buka-buka album pertama. Ada banyak perangko bergambar Pak Harto, perangko bertemakan Pelita (pembangunan lima tahun), dan bergambarkan jejak-jejak pembangunan.
Sontak muncul sebuah gagasan. Bukan gagasan brilian, tapi cukuplah untuk menyelamatkan diri dari kematian. Segera saya ke warung untuk membeli karton manila dan lem kertas. Ada lah uang saya kalau cuma untuk membeli ini. Spidol warna-warni saya sudah punya.
Saya potong karton manila dengan ukuran yang saya anggap terbaik. Lalu mulailah saya mematut-matut perangko pak Harto yang cukup banyak itu mesti saya rekatkan di mana. Perangko Pelita taruh di mana? Perangko lainnya pantasnya ditempel di mana? Ya, itulah hasil prakarya saya. Tempelan perangko-perangko koleksi saya di atas karton manila, dengan judul: "Soeharto Bapak Pembangunan."
Jangan ditanya nilai seninya. Kalau bisa ketawa, mungkin cicakpun akan ketawa. Akan tetapi sudah cukup bagi saya untuk menyongsong hari pengumpulan prakarya dengan berseri-seri dan juga sedikit nyeri. Bagaimanapun, bagi seorang kolektor, kehilangan koleksi tentulah menggoreskan luka. Terlebih, cukup banyak perangko yang saya rekatkan itu adalah koleksi satu-satunya.
Ketika rapor saya terima, tercantum nilai 7 untuk pelajaran Prakarya. Riang sangat hati saya. Terbayar juga pengorbanan saya kehilangan sejumlah perangko. Itulah nilai tujuh yang paling berarti selama saya di SMP.
Bagaimana nasib dua album perangko yang dulu pernah saya miliki? Saya tak pernah menjadi seorang kolektor yang serius. Berpuluh tahun kemudian, keduanya saya berikan kepada anak perempuan saya. Tentu saya tak berharap ia akan merekatkan perangko-perangko itu di prakarya buatannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H