Saya potong karton manila dengan ukuran yang saya anggap terbaik. Lalu mulailah saya mematut-matut perangko pak Harto yang cukup banyak itu mesti saya rekatkan di mana. Perangko Pelita taruh di mana? Perangko lainnya pantasnya ditempel di mana? Ya, itulah hasil prakarya saya. Tempelan perangko-perangko koleksi saya di atas karton manila, dengan judul: "Soeharto Bapak Pembangunan."
Jangan ditanya nilai seninya. Kalau bisa ketawa, mungkin cicakpun akan ketawa. Akan tetapi sudah cukup bagi saya untuk menyongsong hari pengumpulan prakarya dengan berseri-seri dan juga sedikit nyeri. Bagaimanapun, bagi seorang kolektor, kehilangan koleksi tentulah menggoreskan luka. Terlebih, cukup banyak perangko yang saya rekatkan itu adalah koleksi satu-satunya.
Ketika rapor saya terima, tercantum nilai 7 untuk pelajaran Prakarya. Riang sangat hati saya. Terbayar juga pengorbanan saya kehilangan sejumlah perangko. Itulah nilai tujuh yang paling berarti selama saya di SMP.
Bagaimana nasib dua album perangko yang dulu pernah saya miliki? Saya tak pernah menjadi seorang kolektor yang serius. Berpuluh tahun kemudian, keduanya saya berikan kepada anak perempuan saya. Tentu saya tak berharap ia akan merekatkan perangko-perangko itu di prakarya buatannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H