Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kedai Kopi, pada Satu Pagi

19 Desember 2020   18:02 Diperbarui: 19 Desember 2020   18:07 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuputuskan untuk memperhatikan perempuan itu. Ia memang menarik perhatian. Seorang perempuan, sendirian, sarapan di kedai kopi ini adalah peristiwa langka. Biasanya hanya lelaki, keluarga atau perempuan dengan pasangannya yang datang ke kedai yang selalu ramai ini.

Perempuan itu tenggelam dalam buku yang dibacanya. Sesekali dihirupnya minuman dari cangkir, entah kopi entah teh susu. Atau dikunyahnya sepotong kecil roti bakar. Ia tampak tak sedang terburu-buru dan seperti hendak berlama-lama menikmati kesendiriannya pada pagi yang menghangatkan Kijang. Sama sekali ia tak merasa terganggu dengan lalu lalang obrolan pengunjung lain.

Wajahnya taklah cantik sangat. Tetapi seperti ada yang menjeratku dalam air mukanya, caranya mengangkat cangkir, menggigit roti, atau membalik halaman buku. Entah karena aku terbawa oleh khayalanku sendiri atau memang demikian adanya, aku seperti dapat menangkap kepedihan, keteduhan, juga kedamaian dalam gerak-geriknya.

Semula aku mengira ia seorang pelancong. Melihat baju kurung yang dikenakannya, apakah ia dari negeri tetangga yang masih sama Melayu juga? Kedai kopi ini memang sangat terkenal. Sejarahnya panjang. Di sinilah para ayah kami dulu berbual selepas kerja di tambang bauksit. Di sinilah tempat banyak hal dipergunjingkan, dari yang kecil hingga perkara pergantian direksi perusahaan. Sering pelancong datang untuk minum kopi dan menikmati aroma masa lalu. Cangkir kopi yang dihidangkan adalah cangkir yang sama dengan yang ayah kami hirup dahulu. Tapi semakin lama kuperhatikan perempuan itu, aku seperti mengenalnya.

Aku berdebar. Ya, aku seperti mengenalnya. Entah bila, entah di mana. Aku semakin berdebar, ketika tertangkap olehku bahwa perempuan itu ada beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Mungkin ia merasa aku tak henti memperhatikannya, maka diam-diam dia balas memperhatikanku. Atau ia memang mengenalku?

Keras aku berpikir. Tetapi kembara kenanganku malah tersesat pada Maryam, kekasihku, yang seharusnya menjadi istriku.  Apa hendak dikata, Maryam terpikat lelaki lain. Ialah seorang insinyur muda yang baru datang dari tambang lain. Walau terluka sangat, aku mengalah. Kalau sudah tak senang, apa yang mesti dipertahankan?

Jelas perempuan itu bukanlah Maryam. Siapa dia? Kalau benar aku mengenalnya, mengapa aku tak dapat mengingatnya? Mengapa ujung ingatanku selalu hanya sampai kepada Maryam? Apakah karena belum sepenuh hati aku dapat melepas Maryam? Separuh hatiku masih terpukau kepada Maryam dan berharap keajaiban terjadi? Tapi mengapa perempuan di kedai itu kian lama kian menarik perhatianku?

Pagi semakin tinggi. Kedai mulai sepi. Perempuan itu masih membaca. Kukuatkan tekad untuk menghampirinya. Aku tak tahan.

Merasa ada seseorang yang mendekatinya, perempuan itu tengadah. Tatapan matanya indah, tapi salah tingkah. Ah, mata itu. Aku merasa dekat dengannya.

"Maaf, encik," tanyaku hati-hati.

Ia sedikit memiringkan kepalanya. Ada senyum tipis. Tapi tak ada kata-kata. Aku menganggap bahwa ia tidak terganggu dengan kehadiranku.

"Apakah sebelum ini kita pernah berjumpa?"

Ia mematung beberapa saat. Perlahan air mukanya berubah. Dapat kulihat matanya mulai berkaca-kaca, senyum tipisnya sirna berganti rupa seperti ekspresi yang menahan tangis. Ia kemudian bangkit, dan memelukku.

Kini aku yang salah tingkah. Salah tingkah yang nikmat. Seketika aku merasakan hangat di seluruh permukaan kulit. Lalu satu per satu lanskap mulai menggelap, sehingga akhirnya semua hitam pekat. Entah berapa lama.

Aku membuka mata. Perlu beberapa waktu untuk aku memahami di mana aku berada di kini. Aku tengah terbaring. Sepertinya di rumah sakit. Seorang perempuan menggenggam tanganku, menangis haru.

"Alhamdulillaah, akhirnya kau sadar, Bang."

Ia, perempuan di kedai kopi itu.

***

Sekitar tiga minggu yang lalu, saat mengawasi penebangan pohon di Gunung Lengkuas, kepalaku terhantam balok kayu. Seketika aku pingsan, dan tak pernah sadarkan diri. Mungkin ada penggumpalan darah, tapi tak jelas terlihat. Dokter belum berani menyarankan operasi.

Tapi hari ini tiba-tiba aku tersadar dari koma. Para perawat dan dokter bilang keajaiban telah terjadi. Entah bagaimana. Mungkin keajaiban itu sengaja diturunkan dari langit untuk seorang perempuan yang terus berada di dekatku selama aku tak sadarkan diri. Digenggamnya tanganku, diusapnya kepalaku, dikecupnya keningku. Ia tidur beralaskan tangannya di tepi ranjangku. Hampir tak pernah ia meninggalkanku.

Mungkin langit telah jatuh iba kepada Salamah, perempuan setia itu. Perempuan yang aku nikahi tujuh bulan lalu atas permintaan Emak. Perempuan yang sepertinya tak peduli apakah aku mencintainya atau tidak.  Perempuan yang sabar menunggu lelakinya melepaskan masa lalu. Perempuan di kedai kopi yang terus bertahan hingga matahari meninggi sampai lelakinya datang menghampiri.

Kusyukuri hantaman balok kayu itu. Ya, kusyukuri hantaman balok kayu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun