"Apakah sebelum ini kita pernah berjumpa?"
Ia mematung beberapa saat. Perlahan air mukanya berubah. Dapat kulihat matanya mulai berkaca-kaca, senyum tipisnya sirna berganti rupa seperti ekspresi yang menahan tangis. Ia kemudian bangkit, dan memelukku.
Kini aku yang salah tingkah. Salah tingkah yang nikmat. Seketika aku merasakan hangat di seluruh permukaan kulit. Lalu satu per satu lanskap mulai menggelap, sehingga akhirnya semua hitam pekat. Entah berapa lama.
Aku membuka mata. Perlu beberapa waktu untuk aku memahami di mana aku berada di kini. Aku tengah terbaring. Sepertinya di rumah sakit. Seorang perempuan menggenggam tanganku, menangis haru.
"Alhamdulillaah, akhirnya kau sadar, Bang."
Ia, perempuan di kedai kopi itu.
***
Sekitar tiga minggu yang lalu, saat mengawasi penebangan pohon di Gunung Lengkuas, kepalaku terhantam balok kayu. Seketika aku pingsan, dan tak pernah sadarkan diri. Mungkin ada penggumpalan darah, tapi tak jelas terlihat. Dokter belum berani menyarankan operasi.
Tapi hari ini tiba-tiba aku tersadar dari koma. Para perawat dan dokter bilang keajaiban telah terjadi. Entah bagaimana. Mungkin keajaiban itu sengaja diturunkan dari langit untuk seorang perempuan yang terus berada di dekatku selama aku tak sadarkan diri. Digenggamnya tanganku, diusapnya kepalaku, dikecupnya keningku. Ia tidur beralaskan tangannya di tepi ranjangku. Hampir tak pernah ia meninggalkanku.
Mungkin langit telah jatuh iba kepada Salamah, perempuan setia itu. Perempuan yang aku nikahi tujuh bulan lalu atas permintaan Emak. Perempuan yang sepertinya tak peduli apakah aku mencintainya atau tidak. Â Perempuan yang sabar menunggu lelakinya melepaskan masa lalu. Perempuan di kedai kopi yang terus bertahan hingga matahari meninggi sampai lelakinya datang menghampiri.
Kusyukuri hantaman balok kayu itu. Ya, kusyukuri hantaman balok kayu itu.