Ada lelaki yang mudah saja bilang cinta kepada perempuan yang memikat hatinya. Kalaupun ditolak, tak mengapa. Akan diburunya perempuan lain. Kepada perempuan yang terpanah, menyambut cintanya, iapun tak menjanjikan setia. Asmara di tangannya, adalah perkara yang ringan semata. Boleh datang boleh pergi bila-bila masa.
Aku tak macam itu. Semasa budak kecik dulu kau seorang yang aku suka. Bertahun-tahun berkawan denganmu, aku belajar memahami kerjap matamu, senyummu, sibakan rambutmu, lambaian tanganmu, iya dan tidakmu. Bersabar aku mengumpulkan tanda-tanda dengan seksama. Berkali-kali aku merasa tanda itu telah jelas adanya. Berkali-kali pula aku meragukannya. Adakah dikau sang belahan jiwa?
Kemudian tibalah masa seorang lelaki mesti mengalahkan hati yang bimbang. Apa yang gelap, hendaklah disingkap. Kalaupun terang itu menyakitkan, biarlah kutahankan. Kupanahkan asmaraku kepadamu, di hari ketika kita duduk berdua di bawah pokok sakura.
Panah itu seperti telah kau kira datangnya. Kausambut dengan senyuman tenang. Akupun turut tenang. Surut sudah gugup gelisah. Tapi, kau tidakkan aku.
"Tak boleh Ardi. Aku dah ada yang punya."
Sudah ada yang punya? Siapa? Sejak bila? Tak ada kulihat lelaki di dekatmu selain aku. Betul engkau elok rupa. Banyak yang suka. Tapi aku seorang yang dekat denganmu. Rasa sesal mendera rongga dada. Mungkin aku terlambat. Kenapa tak dari dulu kusampaikan cinta? Kenapa pula kuperturutkan hati yang bimbang?
Panjang lebar kau berkisah tentang lelaki itu. Seorang pegawai perusahaan kayu lapis yang tak sengaja kaujumpa pada suatu pasar malam di Tanjung Pinang. Kisah yang sangat tak hendak kudengarkan, tapi tetap kudengarkan.
"Maafkan aku. Kau tahu, aku anak sulung. Penat rasanya mengurus adik-adikku semenjak meninggalnya mamak. Aku perlu seseorang untuk kulabuhkan keluhan."
"Akupun anak sulung", timpalku. Jawaban yang bodoh bin dongok tentu saja. Tiada guna.
Kembali kau tersenyum. Pahit. Akupun berusaha tersenyum. Juga pahit. Manalah mungkin kautemukan ketenangan pada diri lelaki peragu macam aku? Kita sama-sama tahu, tahun-tahun yang kita lalui bersama masihlah macam tahun kanak-kanak. Penuh keriangan. Tak ada masalah yang memberatkan.
Kusadari, bahwa aku harus berlalu dari kehidupanmu. Inilah terang yang kunanti-nantikan. Tapi aku telah berazam, sakitnya akan kutahankan.
***
Empat tahun berlalu. Kira-kiralah. Tak kuingat sangat. Sekali dua ada kita berkirim surat bertukar kabar. Setamat STM aku bekerja sebagai teknisi di perusahaan galangan kapal di Batam. Walau jarak Batam-Tanjung Pinang kurang lebih satu jam perjalanan feri, lalu Tanjung Pinang-Kijang cuma setengah jam, belum pernah aku balik ke Kijang.Â
Siapa yang hendak aku tengok di sana? Orangtua dan adik-adikku tinggal di Siak, kampung halaman ayah, semenjak tiga tahun yang lalu. Ayah hendak mencoba peruntungan dengan bertanam sawit di tanah peninggalan Atuk. Satu adikku ikut aku, bersekolah di Batam. Lagi pun, aku harus berhemat. Adik-adikku mestilah bersekolah tinggi. Mudah-mudahan Allah bagi rezeki banyak kepada keluarga kami melalui kebun sawit ayah. Kalau pun tidak, aku sudah menabung buat pendidikan adik-adik.
Satu hari tiba surat darimu. Kapan terakhir kita bertukar kabar? Dua tahun atau dua tahun setengah yang lalu? Apa kabarmu, Elsa? Tentulah engkau sudah berumah tangga dengan lelaki itu. Di kampung kita, tak banyak pilihan buat seorang perempuan. Lepas SMA, menikahlah. Atau surat yang baru tiba ini berisikan kabar atau undangan pernikahanmu? Tapi, surat ini tak tebal. Tak macam undangan.
Bergetar sedikit permukaan kulit manakala kubuka surat itu. Sejauh manapun hati kubawa pergi, tetaplah ada yang tertinggal pada masa lalu. Pada hari-hari riang gembira itu. Pada hari di kala harapan layu dihentak kenyataan. Suratmu tak panjang. Berkisah tentang apa yang belum lama ini terjadi padamu.
"Lelaki itu tak betul. Ia coba menodaiku. Ia merayu. Dikatakannya, kami kejap lagi menikah. Jadi, tak apalah berbuat macam tu..."
"Mana mungkin aku sudi. Dia meradang. Diungkitnya semua pertolongan buat aku dan adik-adik. Disebutnya aku tak tahu diuntung. Hampir aku dicelakainya. Untunglah ada Pakcik Ramli. Engkau ingat Pakcik Ramli, kan? Tak banyak cakap, ditumbuknya lelaki itu. Sudah ada satu minggu. Laki-laki itu tak pernah lagi nampak di Kijang."
Menggelegak nian darahku. Rasa hendak kucari lelaki laknat itu. Entah siapa pula nama dia. Engkau tak pernah cerita. Rasa hendak kubunuh dia. Kuhidupkan lagi. Kubunuh lagi. Seribu kali bila perlu.
Tak perlulah aku banyak cakap seberapa besar kasihku kepadamu. Engkau dah lama tahu. Engkau hanya tak percaya tubuhku kuat buat kau sandarkan. Engkau hanya tak percaya, rebah di dadaku dapat membuatmu tenang.
"Ardi, masihkah kau mencintaiku?"
Aduhai Elsa. Engkau membuatku pening kepala!
***
Entahlah. Macam mana aku nak cakap? Pastilah ada rasa senang yang menghangat di rongga dada. Cintaku yang dahulu tertahan, kini menemukan jalan lapang. Tapi ada pula rasa ngilu, iba, hampa, berbunga-bunga tapi semua bunganya patah. Ada rasa terlambung dan terhempas. Ada rasa marah yang tak marah.Â
Kenapalah dahulu kau tidakkan aku? Kalaulah kau iyakan, taklah akan begini jadinya. Mungkin kita sudah berumah tangga sekarang. Hidup sederhana, tapi bahagia. Bersama-sama kita urus masa depan adik-adikmu dan adik-adikku, masa depan kita. Kita hadapi payahnya kehidupan dengan kegembiraan macam masa kanak-kanak dulu.
Jauh di dalam ada yang mendesak-desakku segera membalas suratmu dan mengatakan, "ya, masih kucintai dirimu." Lebih dari itu, ada bagian hatiku yang merayu-rayu segera berangkat ke Kijang, melamarmu. Tapi, tak sesederhana itu. Atau aku yang tak hendak menjadikannya sederhana?
Elsa, cintakah kau kepadaku? Dulu, kautepis aku dikarenakan satu alasan yang aku pahami. Meski terluka, aku menerima. Aku kecewa, tapi tak sedikit pun marah, tak jua membenci. Aku hanya hendak sejauh-jauhnya berlalu, supaya boleh kulanjutkan hidupku. Maka, kutahan diriku untuk tak sering bertukar kabar denganmu.
Mungkin suatu hari akan kujumpai cinta sejati, seseorang yang Tuhan turunkan kepadaku buat mendampingi hingga akhir nanti. Tapi kurasa hari itu tiada akan pernah tiba apabila aku masih terjerat kepada apa yang telah lewat.
Lalu engkau datang lagi dengan hati luka, dengan pedih yang dapat kuraba. Kau tulis dalam suratmu bahwa kau menyesal. Kau mintakan maafku. Kaukatakan bahwa kaupun mencintaiku, tapi di kala itu hati dan pikiranmu rapuh sangat didera hidup yang penat.
Paham. Aku paham. Tapi mengapa baru kini kau datang, selepas percintaanmu dengan lelaki itu kandas? Kauharap aku menjadi jalan keluarmu? Â Kurasa patutlah aku mempertanyakanmu. Bolehlah aku merasa macam baterai cadangan saja.
"Pakcik Ramli yang menyuruhku mengirim surat ini. Â Ardi patut tahu soalan ini. Begitu ucap Pakcik. Sebenarnya, aku tak ingin kau tahu. Tak nak kuusik hidupmu. Aku tahu salahku. Malu aku, mengiba macam ini kepadamu. Tapi mengingat jasa Pakcik kepada kami..."
Pakcik Ramli. Tetangga sebelah rumahmu. Baik sangatlah hatinya. Kita sama tahu, susah hidupnya. Tapi sering ia menolong engkau dan adik-adikmu. Dia pula yang menyokong kedekatan kita dahulu. Sering dia menggodaku. "Ardi, apa lagi nak engkau tunggu?" Kurasa diapun kecewa kita akhirnya tak bersama.
Akhirnya? Belum berakhir, rupanya. Kini aku berhadapan dengan pertempuran batin yang sengit. Riuhnya menyesakkan. Mana yang hendak kumenangkan? Penat aku memikirkan. Kuputuskan untuk tidur sekejap. Biarlah ada waktu bagi semua pilihan untuk mengendap. Lepas itu semoga jelas apa hendak kubuat.
Setengah jam berselang, kurasa segar sudah pikiran. Kuambil sehelai kertas surat dan mulai menulis untukmu. Surat yang tak panjang. Kusampaikan sedih dan geramku atas perlakuan lelaki itu kepadamu. Perkara kembali kepadamu, singkat kusampaikan,
"Tak boleh Elsa. Aku dah ada yang punya."
Rupa-rupanya dendam jua yang kumenangkan. Dendam? Rasaku, aku tak dendam. Lantas kenapa aku tak memaafkanmu? Tapi apa yang perlu kumaafkan? Kau tak ada salah apa-apa. Engkau telah menentukan pilihan. Tiada ada yang salah dengan itu. Kini saat bagiku buat menentukan. Itu saja.Â
Lalu kenapa aku harus berpura-pura 'sudah ada yang punya'? Apa ada alasan lain yang lebih tak menyakitkanmu daripada alasan itu? Tapi kata-kata itu serupa betul dengan ucapanmu ketika menolakku dahulu! Tidakkah itu pertanda aku hendak membalasmu? Dua kubu dalam diriku terus bertengkar. Pada satu sisi harga diriku terlukai. Pada sisi lain kasihku kepadamu mengharu-biru. Sungguh, aku tak nyaman dengan sikap yang kuambil terhadapmu.
***
Sepuluh tahun lagi berlalu. Tiada ada kudengar kabar darimu. Dua adikku sudah sarjana dan bekerja di perusahaan besar. Satu lagi adikku, si bungsu, sebentar lagi lulus pula. Kebun sawit ayah rupa-rupanya banyak menghasilkan. Hidup kami telah jauh lebih sejahtera.
Aku sudah tak lagi bekerja di galangan kapal. Kini aku menjalankan bengkel sepeda motor milikku sendiri. Cepat juga berkembang bengkelku ini. Sudah saatnya untuk membuka cabang. Tanjungpinang adalah tujuanku.
Ah, tiba-tiba aku teringat akan dirimu, Elsa. Apa kabarmu? Mungkin engkau telah menemukan lelaki pujaan yang bersamanya kau bangun mahligai rumah tangga. Sungguh, aku berharap engkau bahagia. Sementara aku, barangkali aku terjerat dalam dustaku kepadamu sepuluh tahun lalu: Aku dah ada yang punya. Tak. Aku tak ada yang punya. Tak berhasil kutemukan seorang kekasih hati.
Selepas urusan rencana membuka bengkel cabang Tanjungpinang, aku pun menuju ke Kijang hendak menjumpai Pakcik Ramli, menengok pokok sakura di tepi jalan dulu itu, mengenangkan kembali masa kanak-kanak dan remaja, dan yang terutama bertemu denganmu.Â
Berdegup tak karuan jantungku. Bagaimanapun jalan yang telah kita lalui, engkau adalah rinduku. Jikalaupun kini engkau telah jadi istri orang, tak lah akan mengurangi bahagiaku menjumpaimu. Seperti pernah dulu sekali kubilang: kalaupun terang itu menyakitkan, biarlah kutahankan. Terlebih, semua ini terjadi karena keangkuhanku. Salahku.
Di Batu Sepuluh, mobil yang kutumpangi pecah ban. Tak jauh dari sebuah kedai prata yang ramai. Sudah berkembang sangat daerah dekat sini, kupikir. Sudah jadi pusat keramaian pula. Sembari menunggu sopir mengganti ban, aku duduk di kedai itu memesan secangkir kopi dan sepiring prata.
Mataku tertumbuk ke seorang lelaki usia sekitar enam puluh tahunan yang sibuk mengatur anak buahnya melayani tamu yang ramai. Wajah dari masa lalu yang sungguh kukenal.
"Pakcik! Pakcik Ramli!"
Lelaki itu menoleh ke arahku. Bingung. Aku mendekat.
"Siapa anak muda ni?"
"Tak ingat Pakcik?"
Ia menggeleng.
"Ardi, Pakcik."
"Allaahuakbar. Ardi...!" suaranya setengah berteriak.
Dipeluknya aku erat. Diusapnya kepalaku. Diciumnya keningku. Cerah nian wajahnya berhiaskan tawa yang lepas. Terasa tebal betul rindunya kepadaku.
Diajaknya aku ke lantai dua. Rupa-rupanya luas kedai ini. Â Di lantai dua itu masih ada beberapa meja yang kosong. Pakcik Ramli menunjuk salah satu meja.
Kamipun saling bertukar cerita. Aku bercerita sejak mula aku meninggalkan Kijang hingga kini datang untuk membuka bengkel. Pakcik pun bercerita panjang lebar. Terutama kisah kedai prata kecil miliknya yang kini sangat maju.
"Engkau ingat kan, pakcik dan makcik engkau ni tak ada anak. Tak ada pula saudara dekat." Ia menghela napas.
"Kami berdua dah sepakat nak mewariskan kedai ini kepada mereka yang sedari dahulu membantu kami. Elsa dan adik-adiknya. Mereka pun dah kami anggap macam anak kami sendiri."
Mendengar namamu disebut, jantungku berdegup sangat kencang. Seperti dapat menangkap apa yang bergemuruh di dadaku, Pakcik Ramli berujar,
"Engkau nak jumpa Elsa, kan. Ha, tunggulah. Kejap lagi dia datang."
Aku tersipu. Mengangguk kecil. Salah tingkah. Dapat kau bayangkan betapa lucunya lelaki usia tiga puluh tiga salah tingkah?
"Dia yang pegang keuangan kedai ini. Tapi itulah budak perempuan satu tu. Asik je nak keje. Tak kawin-kawin."
Jantungku bahkan kini berdegup jauh lebih kencang lagi. Macam hendak lepas dari rongga dada. Sepertinya Pakcik Ramli menyimpan suatu maksud melalui ucapannya yang terakhir itu, dan betul saja...
"Ardi. Engkau jangan marah ye. Kalaupun engkau dah ada bini, ambillah Elsa jadi bini engkau..."
Aku tersenyum. Atau aku tak tersenyum? Entahlah. Aku salah tingkah. Pakcik Ramli, masih seperti dulu. Inginkan kita bersama. Tiba-tiba aku tersentak. Pakcik bersuara agak keras,
"Udin, kau tengok ke bawah. Kalau kak Elsa dah sampai, suruh dia naik atas ye."
"Iye, Paklong," jawab seorang anak muda yang segera turun ke lantai bawah. Kenapa pula dia memanggil Paklong? Aku tak tahu dan tak pula ingin tahu. Aku sedang sibuk dengan perasaanku sendiri.
Tak lama. Ya, tak lama, tampaklah olehku sesosok perempuan dengan wajah berkeringat, tak berbedak dan tak bergincu pula. Akan tetapi, perempuan itu sungguh-sungguh telah gagal menipuku. Ia tak dapat menyembunyikan kecantikannya dariku. Elsa. Elsaku.
***
Kisah ini kutuliskan untukmu, Elsa. Istriku. Belahan jiwaku. Kini kau masih tak sadarkan diri selepas melahirkan anak pertama kita. Panjang sudah yang kita jalani. Berat dan berliku yang telah kita lalui. Karena itu, aku percaya kau akan bertahan. Kau harus bertahan. Secangkir teh hangat cap Prendjak kesukaanmu, telah kusiapkan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H