Pada siang yang menyengat itu aku bertransformasi menjadi papan iklan. Tubuhku yang raksasa meliuk-liuk di tepi jalan layang. Menggoda mi instan dan susu formula: Â "Maukah kalian ternama di seantero kota?"
Mi instan dan susu formula terkikik. Terus ngobrol dengan berbisik. Tak lama, bergabung pula sabun antiseptik. Tiba-tiba seorang kandidat kepala daerah berteriak, "aku saja!". Ia lalu melompat ke tubuhku. Berdiri penuh kharisma. Berhias senyum berwibawa. Seperti hendak menebarkan ketenteraman bagi rakyatnya. Padahal ia cuma membawa satu pesan sederhana: "pilihlah saya!"
Tak kusangka, tiba-tiba aku menjelma jadi selembar poster. Angin siang menerbangkanku ke sungai. Aliran sungai membawaku ke desa yang jauh. Seorang gadis usia 20-an menemukanku selepas mandi sore. Kulihat ia terpana memandang rupa sang kandidat kepala daerah. Sepertinya ia mulai jatuh cinta.
Gadis itu berpamitan kepada ibunya. Esok ia akan pergi ke kota mencari lelaki dalam poster yang telah memikat hatinya. Sang ibu geleng-geleng kepala. Anak perawan di masa kini, sungguh susah dimengerti.
Sebelum gadis itu pergi, poster yang digenggamnya berubah lagi, kembali menjadi aku. Terperanjat ia menghardikku, "siapa kamu?" Aku tak segera menjawab. "Ke mana pergi lelaki pujaanku?" Aku tak juga segera menjawab.
Aku tak pernah menjawab. Sementara gadis itu tetap berangkat ke kota. Padahal, aku ingin mencegahnya. Setelah beberapa lama, kujumpai lagi dia pada papan iklan raksasa bertuliskan: "pilihlah saya!"
Dalam hati aku bilang, "ya". Segera kucari di mana alamatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H