Kutuliskan huruf demi huruf dengan sepenuh. Kupilih kata-kata dengan seksama. Aku menaruh harap ini adalah surat cinta yang indah, artistik dan menggetarkan.
Berdebar-debar aku menanti balasanmu. Kuliahku di perguruan tinggi ternama, sesuai impianku, berjalan agak kacau. Beberapa nilai ulangan terjun bebas. Hari berganti hari, suratmu tak kunjung tiba. Biasanya dalam tujuh delapan hari datang surat darimu. Mungkin ada sedikit kendala di kantor pos? Minggu berganti, balasanmu tak ada.
Aku mulai gelisah dan bertanya-tanya. Adakah suratku tak sampai? Selalu ada kemungkinan sepucuk surat menyasar entah ke mana. Atau aku telah salah sangka? Apakah angan dan harapanku mengaburkan pikiranku sehingga keliru menafsirkan kata-kata dalam suratmu? Bahwa perhatianmu, senyum manis yang tersampaikan lewat kata-kata itu adalah benar tanda sayangmu kepadaku, tapi sayangnya seorang kawan atau sahabat? Dinda, aku tergolong yang tak percaya seorang lelaki dan perempuan dapat menjadi sahabat dekat. Entahlah.
Berbagai fragmen berlompatan di dalam benakku. Ribuan kata berebutan mengintimidasi pikiranku. Aku merana.
Kutulis sekali lagi surat untukmu, dengan semangat yang telah turun puluhan derajat. Berharap bahwa suratku terdahulu tak sampai kepadamu. Tapi yang terjadi beberapa hari kemudian, pahit nian. Suratku kembali dengan catatan: pindah alamat. Dinda, dikau di mana?
Tidaklah perlu kurasa di surat ini kuceritakan betapa remuk-redamnya aku. Apa yang lebih baik untuk menyembuhkan luka daripada berlapang dada? Yang telah berlalu sudah suratan. Sementara hidup haruslah berlanjut. Perlu beberapa tahun untukku akhirnya tahu kabarmu. Engkau pindah dari tanah kelahiran kita ke Belitung, kampung halaman orangtuamu.
Selepas itu, dua tiga tahun kemudian, kau pulang. Teraduk-aduk perasaanku ketika tahu kau menikah dengan seseorang yang juga aku kenal. Jadi, benarlah kalau begitu. Masa lalu itu sekadar cinta kanak-kanak bagimu yang kemudian berkembang menjadi perasaan sayangnya seorang sahabat. Barangkali kau berpikir akupun seharusnya begitu. Maka surat cintaku itu membuatmu kecewa dan boleh jadi juga bercampur marah sehingga tak kau balas. Kau abaikan. Tapi bukankah lebih elok jika kau jawab dengan terus terang? Kau tahu, Dinda. Kabar buruk selalu lebih baik daripada tak ada kabar.
Sepanjang yang dapat kuikuti dari kejauhan, engkau bahagia. Anakmu dua, perempuan semua. Sudah ada satu cucu pula. Akupun bahagia, kurasa. Kucapai sudah mimpi yang pernah kuceritakan kepadamu pada sore itu. Kini aku seorang pengusaha dengan lebih dari seribu karyawan. Akupun sudah ada keluarga. Sama, anakku dua. Lelaki semua. Tetapi mereka masih di sekolah dasar, sebab aku terlambat menikah. Entah karena aku terus mengingatmu atau sibuk bekerja.
Kelihatannya, semua berjalan baik untuk kita. Jadi, apa perlunya kutulis surat ini untukmu? Biarlah kukisahkan kepadamu. Beberapa hari lalu abang sulungku yang membiayai pendidikanku, berpulang. Selepas pemakaman, aku masih tinggal beberapa hari di rumah abang, rumah tempat aku tinggal semasa sekolah di Jawa.
Aku membantu kakak ipar dan kemenakan-kemenakanku membereskan rumah, memeriksa isi lemari-lemari, memilih mana yang bisa dibagi atau dipertahankan. Ada sebuah lemari berisi kertas-kertas lama. Macam-macam berkas. Ada hasil ulangan murid-murid abangku dulu. Ada coretan-coretan. Dan yang membuat darahku menggelegak, ada amplop surat yang sudah tersobek. Seketika aku tahu, itu surat darimu. Surat yang manakah gerangan itu? Dengan terburu-buru kukeluarkan surat dan kubaca. Balasan darimu atas surat cintaku dulu.
Pening kepalaku tiba-tiba. Aku bagaikan terhisap oleh mesin waktu kembali kepada sore itu. Kembali kepada hari yang kupilih untuk menuliskan surat cinta itu. Kembali kepada tahun-tahun yang berat. Lalu dengan sangat cepat sang mesin waktu menghempaskan aku kembali hari ini yang tiba-tiba menjadi pekat dan berat. Ya, Dinda, kau tahu. Surat itu adalah curahan hatimu yang bahagia menerima cintaku. Di dalamnya juga kau kabarkan kepindahanmu ke Belitung beserta alamat barumu.