Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Menanam 1000 Lebih Pokok Jambu Monyet

13 Februari 2019   07:09 Diperbarui: 13 Februari 2019   07:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu punya perasaan khusus terhadap maghrib. Langit merah jingga, keadaan yang perlahan menggelap, selalu mengingatkanku kepada rumah di tepi telaga. Rumah kayu yang kita bangun indah dalam angan kita. Kubayangkan kita bercakap-cakap, bersenda gurau, bercengkerama di teras pada saban petang. 

Di hadapan kita membentang telaga kecil nan elok. Sesekali permukaannya beriak tersebab beberapa ekor ikan berlompatan. Selebihnya, tenang. Tentram. Menjelang maghrib aku beranjak ke surau tak jauh dari rumah kita. Aku akan berada di sana hingga lepas isya'. Sementara engkau mempersiapkan makan malam kita. Keindahan bersahaja yang membuat kita bahagia.

Tapi, kau memilih tak menikah denganku. Setahun lebih yang lalu kau terima lamaran seorang tauke dari Tanjung Uban yang punya banyak toko di Sumatera. Kau sampaikan kabar itu lewat sepucuk surat pendek. Aku remuk dan kebingungan. Gerangan apakah yang terjadi duhai Midahku seorang? Tolonglah engkau jelaskan. Mungkin dalamnya kasihku akan dapat membuatku maklum dan rela melepaskan. Tapi kau hindari aku, sehingga kau sekeluarga pergi beberapa hari kemudian.

Berkali-kali kubaca suratmu. Kutelusuri kata demi kata, kubolak-balik, kuterawang pada cahaya lampu. Siapalah tahu tersembunyi pesan rahasia di sana. Pesan yang mengungkapkan bahwa kau sangat mencintaiku, bahwa batinmu tersiksa tapi terpaksa pergi. Tak ada. Itu hanya surat biasa berisikan kabar dan permintaan maaf. Bahkan getar kesedihanmupun tak terbaca di sana.

Ada kudengar kau sekeluarga pindah ke Pekanbaru. Pesta pernikahan berlangsung meriah di sana. Entah betul entah tidak. Di kedai kopi ramai orang berbual, bercakap ini itu. Ada yang bilang kau dipaksa kawin untuk melunasi utang. Ayahmu kalah main ceki dengan tangan kanan si tauke. Ada pula yang bilang engkau sendiri yang menerima lamaran itu dengan suka cita. Orang bilang itu keputusan bijak. Lebih baik menikah dengan orang kaya, daripada dengan pegawai rendahan di perusahaan tambang bauksit. Entah kabar mana yang betul. Tak jelas yang mana satu.

Mungkin tak ada yang betul. Susah aku percaya, bahwa kau akan silau dengan harta. Mungkin ada perempuan macam itu. Tapi bukan Midahku. Mustahil rasanya kau bahagia mengarungi sisa hidup tidak denganku. Bukankah telah kita bangun masa depan itu dengan teliti dan indah, meskipun cinta kita adalah cinta yang bersahaja?

Pening kepala aku. Kepergianmu meninggalkan teka-teki yang perih, membuat geram, sengsara, tapi juga renjana.

Aku meradang dalam gelap. Aku mengamuk dalam gelap. Tapi kau tahu aku. Marahku marah dalam sekam. Amukku amuk yang diam. Bukan caraku mengadu ke orang. Mereka mungkin hanya melihat, aku yang pendiam semakin pendiam. Ada beberapa kali terpikir olehku untuk menenggelamkan diri di telaga itu. Telaga yang di tepinya hendak kita bangun rumah kayu keluarga kita. Buat apa hidup lebih lama? Aku tak menemukan bentuk bahagia yang lebih bahagia daripada bersamamu. Bahkan bahagia itu sudah seperti tak ada.

Tapi tidak, Midah. Aku kuat. Aku harus kuat. Kusimpan asa, suatu hari nanti kau datang dari arah pelabuhan Sri Bayintan. Dari jauh dapat kucium harum bunga kenanga dari tubuhmu. Kau tersenyum dan bilang, "kita bangun rumah kayu itu hari ini, bang?" Aku tertawa dan menggodamu, "iye, selepas kita ke penghulu." Kau tersipu. Pipimu merona merah jambu. Aduhai, Midahku.

***

 Akhirnya aku menemukan cara untuk menunggumu. Menjalani hidup dengan cara yang baru. Belajar mencintai sesuatu seraya terus merawat impian kita itu. Tapi orang-orang mengira aku sudah gila. Setiap hari mereka melihatku bersepeda,  membawa parang dan karung ke mana-mana. Pakaianku selalu sama. Baju dan celana abu-abu, serta bertopi tentara. Dari pagi ke siang atau dari sore ke matahari terbenam kudatangi satu per satu pokok jambu monyet yang kutanam di hampir semua tanah gersang di wilayah timur Pulau Bintan. Ada lebih dari seribu pokok. Kusiangi ilalang yang mengganggu. Kuberi pupuk sekiranya perlu. Kusiram. Kadangkala aku bercakap-cakap dengan beberapa pokok. Sekadar melawan kesendirian.

"Sarkoni dah gila", begitu orang berbagi berita. Bagaimana tak disangka gila? Orang melihatku tiba-tiba meninggalkan pekerjaan sebagai staf bagian kepegawaian di perusahaan tambang bauksit Kijang dan sekarang mengurus pokok jambu saja kerjanya. Kadang-kadang nampak bercakap-cakap pula dengan pokok-pokok itu.

"Patah hati dah bikin Sarkoni gila," begitu orang mengarang cerita. Mungkin mereka betul. Aku tak peduli. Aku sibuk dengan hidupku yang baru. Aku sibuk dengan kekasih baruku: pokok-pokok jambu monyet. Aku belajar seni kehidupan: menumbuhkan, merawat, dan menghasilkan. Kekasih baruku ini bukan sembarangan. Ia masa depan. Orang-orang di Kijang ini rupanya tak sadar. Kelak suatu hari bauksit akan habis ditambang. Perusahaan akan tutup. Dari mana mereka hendak hidup? Jambu monyet adalah harapan. Mudah tumbuh di lahan gersang. Harga jual buahnya lumayan.

Begitulah, Midah. Kutemukan sudah cara menantimu. Kutemukan sudah gairah baru, walau cinta yang menggetarkan hanya pernah ada untukmu. Ingatan akan rumah di tepi telaga itu, masih terus aku pelihara. Kucabuti ilalang yang menutupinya. Kusiram, dan kuberi pupuk sekiranya perlu. Aku terus berharap ada mendengar kabar tentangmu. Tapi tak ada. Rupa-rupanya orang tak lagi tertarik dengan peristiwa lebih dari setahun yang lalu itu. Terlebih lagi, orang-orang mulai menjauhiku. Kalau sebelumnya mereka bilang, "Sarkoni tu gila, tapi tak ganggu orang", kini mereka anggap aku berbahaya.

Suatu hari kulihat ada orang mencabut satu pokok jambu monyet yang kutanam. Marah, kukejar dia sambil mengacungkan parang. Maksud hati hendak menakut-nakuti supaya dia tak ganggu tanamanku lagi. Tapi yang terjadi, kota kecil kita guncang. Ramai orang berbual di kedai kopi tentang Sarkoni yang gila dan berbahaya. "Jangan kaucabut pokok jambu monyet yang ditanamnya. Putus lehermu ditebasnya." Begitu orang saling mengingatkan, saling menebar ketakutan. Semakin hari cerita semakin bertambah. Setiap orang seperti merasa perlu menambahkan bumbu-bumbu. "Kalau kau lihat dia, lebih baik menghindar. Cari jalan lain. Jangan sampai berpapasan. Salah-salah ditebasnya engkau tanpa sebab. Gilanya dah tambah teruk." Seketika, aku berubah jadi menyeramkan.

Hanya sahabat kecilku, Jalil, yang tak percaya aku gila. Sesekali ia masih bercakap-cakap denganku. Dari dia aku tahu bahwa di mata orang aku semakin seram. Para orang tua memakai namaku untuk menakut-nakuti anak-anak mereka.  Kau ingat, Midah, kebiasaan di kampung kita, orang tua sering memakai cerita seram untuk mencegah anak-anak bermain terlalu jauh dan supaya mereka pulang sebelum maghrib datang. Penebok sudah tak mempan. Aku lebih seram.

Upaya Jalil meyakinkan orang-orang agar percaya bahwa aku tak gila, tak membawa hasil. "Mana ada orang gila mengerti tanaman? Mana ada orang gila menanam dan merawat tanaman?", ajak Jalil supaya orang menggunakan akal sehat. Tak ada yang peduli. Sebaliknya, orang menganggap bahwa aku mulai meresahkan. Ada yang mendesak supaya aku ditangkap. Padahal, sekali saja aku khilaf mengejar orang.

***

Aku selalu punya perasaan khusus terhadap maghrib. Langit merah jingga, keadaan yang perlahan menggelap, selalu mengingatkanku kepada rumah kayu yang tak sempat kita bangun di pinggir telaga itu. Maghrib kali inipun kembali turun dengan membawa perasaan itu. Tapi tak lama, Midah. Tak lama. Sekejap kemudian perasaanku berubah menjadi campuran rasa sakit dan amarah.

Aku tengah bersepeda dalam perjalanan pulang, melewati Tanah Merah. Terdengar suara riuh dan kulihat antara dua puluh hingga tiga puluh orang mencabut, mencangkul dan merusak pokok-pokok jambu monyet yang kutanam. Entah siapa yang mengerahkan. Entah dari mana mereka datang. Cepat kukayuh sepeda menuju mereka. Amarah seperti hendak pecah di kepala. Aku melompat. Sepedaku meluncur, lalu menghantam tanah. Aku hadang mereka dengan segenap murka. Sekamku berkobar sudah, Midahku sayang. Kehilangan pokok-pokok ini bagai menyayat luka di atas luka. Apa salahku? Sama seperti dulu ketika kau meninggalkanku. Apa salahku? Aku menyayangi orang-orang di sini dengan caraku. Aku mencintaimu dengan semua cara yang aku tahu. Lalu muaranya adalah kehilangan. Kehilangan yang sungguh aku tak paham. 

Mereka, orang-orang itu, berteriak macam-macam. Ada kudengar mereka bilang bahwa aku menanam di lahan milik perusahaan. Harus dihentikan. Aku meradang. Selama ini tak masalah. Mengapa sekarang dipersoalkan? Kalaupun persoalan, tak dapatkah mereka mengajakku bicara? Atau karena dianggap gila, aku tak pantas diajak bicara? 

Aku mengibas-ngibaskan parang menyerang para perusak tanaman. Mereka berlarian menghindari tebasan. Ada yang lintang pukang. Aku berteriak lantang, "Sarkoni nak engkau orang lawan?" Kalau memang takdirku gila, biarlah aku gila sekarang. 

Tiba-tiba suara letusan menyobek Kijang yang mulai gelap. Sekejap kemudian aku merasakan panas dan nyeri yang sangat di dada. Aku terhuyung. Mungkin akan segera tersungkur. Tapi tidak, Midah. Tak perlu kau kuatir kisah ini akan berakhir getir. Aku tak akan kemana-mana. Aku kuat. Kau tengoklah aku. Tegak aku berdiri. Akan terus kurawat pokok-pokok ini sampai tinggi besar dan berbuah lebat. Akan kujaga mimpi tentang rumah kayu di tepi telaga itu, tentang percakapan sore denganmu, tentang makan malam selepas isya' itu....

Catatan:

Penebok: sosok khayalan yang popular di masyarakat Bintan. Ia diceritakan suka menculik anak-anak untuk dipenggal. Kepalanya dijadikan tumbal pembangunan gedung atau jembatan.

Ceki: Permainan kartu hitam putih mirip domino. Diperkirakan berasal dari China. Sering dimainkan para lelaki di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Pulau Bintan.

Tanah Merah: salah satu kompleks perumahan pegawai tambang bauksit di Kijang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun