Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Menanam 1000 Lebih Pokok Jambu Monyet

13 Februari 2019   07:09 Diperbarui: 13 Februari 2019   07:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sarkoni dah gila", begitu orang berbagi berita. Bagaimana tak disangka gila? Orang melihatku tiba-tiba meninggalkan pekerjaan sebagai staf bagian kepegawaian di perusahaan tambang bauksit Kijang dan sekarang mengurus pokok jambu saja kerjanya. Kadang-kadang nampak bercakap-cakap pula dengan pokok-pokok itu.

"Patah hati dah bikin Sarkoni gila," begitu orang mengarang cerita. Mungkin mereka betul. Aku tak peduli. Aku sibuk dengan hidupku yang baru. Aku sibuk dengan kekasih baruku: pokok-pokok jambu monyet. Aku belajar seni kehidupan: menumbuhkan, merawat, dan menghasilkan. Kekasih baruku ini bukan sembarangan. Ia masa depan. Orang-orang di Kijang ini rupanya tak sadar. Kelak suatu hari bauksit akan habis ditambang. Perusahaan akan tutup. Dari mana mereka hendak hidup? Jambu monyet adalah harapan. Mudah tumbuh di lahan gersang. Harga jual buahnya lumayan.

Begitulah, Midah. Kutemukan sudah cara menantimu. Kutemukan sudah gairah baru, walau cinta yang menggetarkan hanya pernah ada untukmu. Ingatan akan rumah di tepi telaga itu, masih terus aku pelihara. Kucabuti ilalang yang menutupinya. Kusiram, dan kuberi pupuk sekiranya perlu. Aku terus berharap ada mendengar kabar tentangmu. Tapi tak ada. Rupa-rupanya orang tak lagi tertarik dengan peristiwa lebih dari setahun yang lalu itu. Terlebih lagi, orang-orang mulai menjauhiku. Kalau sebelumnya mereka bilang, "Sarkoni tu gila, tapi tak ganggu orang", kini mereka anggap aku berbahaya.

Suatu hari kulihat ada orang mencabut satu pokok jambu monyet yang kutanam. Marah, kukejar dia sambil mengacungkan parang. Maksud hati hendak menakut-nakuti supaya dia tak ganggu tanamanku lagi. Tapi yang terjadi, kota kecil kita guncang. Ramai orang berbual di kedai kopi tentang Sarkoni yang gila dan berbahaya. "Jangan kaucabut pokok jambu monyet yang ditanamnya. Putus lehermu ditebasnya." Begitu orang saling mengingatkan, saling menebar ketakutan. Semakin hari cerita semakin bertambah. Setiap orang seperti merasa perlu menambahkan bumbu-bumbu. "Kalau kau lihat dia, lebih baik menghindar. Cari jalan lain. Jangan sampai berpapasan. Salah-salah ditebasnya engkau tanpa sebab. Gilanya dah tambah teruk." Seketika, aku berubah jadi menyeramkan.

Hanya sahabat kecilku, Jalil, yang tak percaya aku gila. Sesekali ia masih bercakap-cakap denganku. Dari dia aku tahu bahwa di mata orang aku semakin seram. Para orang tua memakai namaku untuk menakut-nakuti anak-anak mereka.  Kau ingat, Midah, kebiasaan di kampung kita, orang tua sering memakai cerita seram untuk mencegah anak-anak bermain terlalu jauh dan supaya mereka pulang sebelum maghrib datang. Penebok sudah tak mempan. Aku lebih seram.

Upaya Jalil meyakinkan orang-orang agar percaya bahwa aku tak gila, tak membawa hasil. "Mana ada orang gila mengerti tanaman? Mana ada orang gila menanam dan merawat tanaman?", ajak Jalil supaya orang menggunakan akal sehat. Tak ada yang peduli. Sebaliknya, orang menganggap bahwa aku mulai meresahkan. Ada yang mendesak supaya aku ditangkap. Padahal, sekali saja aku khilaf mengejar orang.

***

Aku selalu punya perasaan khusus terhadap maghrib. Langit merah jingga, keadaan yang perlahan menggelap, selalu mengingatkanku kepada rumah kayu yang tak sempat kita bangun di pinggir telaga itu. Maghrib kali inipun kembali turun dengan membawa perasaan itu. Tapi tak lama, Midah. Tak lama. Sekejap kemudian perasaanku berubah menjadi campuran rasa sakit dan amarah.

Aku tengah bersepeda dalam perjalanan pulang, melewati Tanah Merah. Terdengar suara riuh dan kulihat antara dua puluh hingga tiga puluh orang mencabut, mencangkul dan merusak pokok-pokok jambu monyet yang kutanam. Entah siapa yang mengerahkan. Entah dari mana mereka datang. Cepat kukayuh sepeda menuju mereka. Amarah seperti hendak pecah di kepala. Aku melompat. Sepedaku meluncur, lalu menghantam tanah. Aku hadang mereka dengan segenap murka. Sekamku berkobar sudah, Midahku sayang. Kehilangan pokok-pokok ini bagai menyayat luka di atas luka. Apa salahku? Sama seperti dulu ketika kau meninggalkanku. Apa salahku? Aku menyayangi orang-orang di sini dengan caraku. Aku mencintaimu dengan semua cara yang aku tahu. Lalu muaranya adalah kehilangan. Kehilangan yang sungguh aku tak paham. 

Mereka, orang-orang itu, berteriak macam-macam. Ada kudengar mereka bilang bahwa aku menanam di lahan milik perusahaan. Harus dihentikan. Aku meradang. Selama ini tak masalah. Mengapa sekarang dipersoalkan? Kalaupun persoalan, tak dapatkah mereka mengajakku bicara? Atau karena dianggap gila, aku tak pantas diajak bicara? 

Aku mengibas-ngibaskan parang menyerang para perusak tanaman. Mereka berlarian menghindari tebasan. Ada yang lintang pukang. Aku berteriak lantang, "Sarkoni nak engkau orang lawan?" Kalau memang takdirku gila, biarlah aku gila sekarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun