Dalam pidato kebangsaan menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, pada 16 Agustus lalu, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi kelompok intoleran di Indonesia.
Namun fakta di lapangan berkata lain, masalah toleransi di negeri ini terus menjadi sorotan, masih banyaknya bermunculan kasus kasus kekerasan, ujaran kebencian hingga kegiatan ibadah yang mengalami pembubaran.
Untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang toleran, kita masih butuh perjuangan yang melibatkan seluruh masyarakat dari berbagai lapisan.
Tidak hanya sekali dua kali Presiden Jokowi menyuarakan perlunya toleransi, di acara Kongres ke-22 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beliau juga mengingatkan Potensi konflik yang bisa terjadi dalam momentum politik di daerah hingga tingkat nasional, sehingga dibutuhkan peran guru mengajarkan toleransi agar anak-anak tak terlibat.
Bahkan kalau kita perhatikan pada sidang bersama DPD dan DPR, 16 Agustus lalu, Presiden memberikan perhatian penuh pada isu intoleransi, radikalisme dan terorisme yang akan mengancam kemajuan bangsa.
Penyebutan tiga tantangan itu secara berurutan seolah menggambarkan bahwa intoleransi adalah awal dari terorisme dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. Intoleransi adalah benih untuk kerusuhan, terorisme dan kekacauan. Seringkali konflik terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat menerima perbedaan, sehingga melakukan intimidasi, diskriminasi dan  pemaksaan.
Di Indonesia, kebebasan beragama dijamin secara konstitusional. Konstitusi Republik Indonesia yakni UUD NRI 1945 menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya."
Kemudian Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya." Jaminan tersebut diperkuat oleh Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Kasus-kasus yang berkenaan dengan intoleransi  adalah suatu bentuk pelanggaran yang jelas terhadap konstitusi Indonesia. Suatu bentuk penghinaan dan pengkhianatan terhadap konstitusi negara.
Dalam sebuah survey, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan adanya peningkatan intoleransi politik sejak tiga tahun terakhir. Survei tersebut dilakukan pada Agustus 2018 berkaitan dengan persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi.
LSI menyimpulkan bahwa angka intoleransi politik tersebut naik pada 2017 dan 2018. Yang dimaksud intoleransi politik dalam survei itu berkaitan dengan pilihan terhadap pimpinan politik.
Akhir tahun 2018 Setara Institute menerbitkan indeks tingkat toleransi kota-kota di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut, ditemukan bahwa beberapa kota dengan status intoleran tertinggi antara lain Sabang, Medan, Makassar, Bogor, Depok, Padang, Cilegon, Jakarta, Banda Aceh, dan Tanjung Balai.
Untuk mengatasi sikap intoleran tidak dapat dilakukan sendiri sendiri oleh Individu. Setiap kelompok masyarakat, partai politik, institusi pemerintahan baik pusat dan daerah harus ikut serta.
Terkait masuknya kota Medan dalam 10 besar kota intoleran, seorang tokoh muda dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Medan, Samuel Marpaung mengaku sedih dan kecewa. Dalam proses menuju Indonesia maju ia berharap tidak ada lagi tindakan - tindakan intoleransi, pelarangan ibadah, penutupan gereja, perusakan tembok gereja seperti yang dialami oleh salah satu gereja di Medan yang sudah 2 tahun jemaatnya tidak bisa menggunakan rumah ibadah tersebut.
Ketua DPC PSI Medan Baru ini menjelaskan salah satu contoh kejadian di kotanya yang menimpa Gereja Indonesia Kegerakan (GIK) dimana salah satu oknum PNS melakukan penggembokan dan perusakan sehingga jemaat gereja tersebut tidak dapat beribadah, Samuel  mempertanyakan dimana hati nurani pelaku tersebut.
![Pintu gereja yang digembok | dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/10/14/whatsapp-image-2019-10-14-at-12-43-20-1-5da42393097f365d0205a462.jpeg?t=o&v=770)
![Tembok yang mengalami perusakan | dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/10/14/whatsapp-image-2019-10-14-at-12-43-20-5da423f7097f3664d470a752.jpeg?t=o&v=770)
Kehidupan beragama pada dasarnya adalah relasi yang intim antara manusia dengan Tuhan. Ada sebuah ikatan personal dan mendalam, sehingga tidak boleh seorang pun yang dilarang untuk mengungkapkan imannya yang begitu personal kepada Tuhan yang diyakininya. Itu adalah hak asasi terdalam yang melekat pada diri setiap orang.
Toleransi di Indonesia merupakan hal yang amat fundamental dan harus menjadi perhatian pemerintah. Toleransi masih merupakan hal yang harus diperjuangkan, dan peranan aktif semua pihak, baik pemerintah, partai politik, aparat penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat mutlak diperlukan untuk menjalankan toleransi itu.
Semoga di pemerintahan Jokowi periode kedua masalah ini bisa lebih tertangani dengan baik melalui cara pandang yang lebih konstruktif dan komprehensif. Bagaimanapun juga UUD 1945 sudah menjamin hak semua warga negara untuk menjalankan ibadahnya masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI