Di era digital, ancaman terhadap kedaulatan negara tidak lagi terbatas pada konflik militer fisik, melainkan meluas ke ranah yang lebih subtil namun berbahaya, yaitu perang proksi atau proxy war di dunia maya. Proxy war di era ini mencakup penggunaan serangan siber, disinformasi, manipulasi ekonomi, serta infiltrasi budaya untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi tanpa melibatkan konfrontasi langsung. Indonesia sebagai negara berkembang dengan populasi pengguna internet yang besar, menghadapi tantangan signifikan dari bentuk-bentuk perang yang tidak terlihat ini.
Dalam menghadapi ancaman ini, penting bagi setiap elemen masyarakat untuk terlibat aktif dalam mempertahankan kedaulatan negara melalui peningkatan literasi digital, penguatan kesadaran siber, serta kemandirian teknologi. Melalui kajian ini, diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya adaptasi bela negara di era modern, di mana ancaman tak kasat mata di dunia maya menjadi salah satu medan pertempuran utama dalam menjaga keutuhan bangsa.
Proxy war di era digital mengacu pada bentuk-bentuk konflik yang melibatkan penggunaan teknologi informasi, media sosial, serangan siber, dan disinformasi untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi tanpa terlibat dalam konflik militer langsung. Dalam konteks ini, negara atau aktor non-negara dapat menyerang atau melemahkan sebuah negara melalui serangan siber, manipulasi informasi, atau bahkan pengendalian ekonomi tanpa perlu melakukan invasi fisik.. Akhir-akhir ini serangan siber kerap kali dilancarkan yang dapat merusak sistem pemerintahan, bank, atau infrastruktur penting lainnya untuk mengganggu kestabilan suatu negara. Selain itu, disinformasi atau penyebaran hoaks masih menjadi momok untuk masyarakat yang masih beradaptasi dalam dunia informasi digital. Penyebaran hoaks atau informasi yang salah di media sosial kerap kali menciptakan polarisasi politik, perpecahan sosial, dan mengganggu proses demokrasi. Ini adalah contoh perang yang tidak terlihat secara langsung tetapi dampaknya sangat nyata.
Proxy war di era digital disebut sebagai perang yang tak terlihat karena sifatnya yang tidak kasat mata dan sering kali tidak langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Berbeda dengan perang tradisional yang melibatkan senjata, tank, dan prajurit, perang di dunia maya dilakukan melalui saluran yang sulit terdeteksi, seperti serangan siber, disinformasi, dan manipulasi ekonomi. Ancaman ini dapat merusak infrastruktur penting, memecah belah masyarakat dengan menyebarkan hoaks, atau bahkan melemahkan stabilitas politik dan ekonomi suatu negara tanpa perlu invasi militer. Akibatnya, banyak dari dampak perang ini yang dirasakan secara bertahap dan tidak disadari hingga kerusakan signifikan telah terjadi. Selain itu, karena serangan sering kali dilakukan oleh aktor anonim atau pihak ketiga, sulit bagi negara yang menjadi target untuk secara langsung mengidentifikasi siapa lawannya, membuat perang ini semakin sulit dihadapi dan dimitigasi.
Seperti halnya perang pada umumnya, sebagai warga negara kita juga harus memperkuat wawasan kebangsaan dan bela negara dalam menghadapi proxy wars. Dalam konteks bela negara, fokusnya tidak lagi hanya pada pertahanan fisik atau militer, tetapi juga pada pertahanan siber dan ketahanan digital. Setiap warga negara perlu dilibatkan dalam upaya melindungi negara dari ancaman yang datang melalui teknologi digital dan informasi. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk menyaring informasi, mengenali hoaks, dan memahami bagaimana mereka bisa berkontribusi dalam menjaga keamanan nasional melalui aktivitas digital mereka. Bela negara di era digital berarti setiap warga negara harus menjadi "tentara informasi" yang siap menangkal disinformasi dan menjaga integritas informasi. Penguatan kesadaran terhadap ancaman siber juga menjadi bagian dari bela negara. Serangan siber bisa menyerang segala aspek kehidupan, dari ekonomi, politik, hingga militer. Setiap warga negara, baik dalam peran mereka di sektor publik maupun privat, perlu waspada terhadap ancaman siber dan dilatih untuk merespons serangan digital.
Hal-hal yang bisa kita lakukan sebagai warga negara dalam rangka bela negara menanggulangi perang proksi diantaranya adalah melakukan pendidikan dan sosialisasi mengenai literasi digital. Peningkatan literasi digital penting untuk dilakukan di kalangan masyarakat luas, terutama dalam mengenali hoaks, propaganda, dan teknik manipulasi informasi di media sosial. Sosialisasi tersebut bisa kita mulai dari orang-orang terdekat, utamanya kepada generasi yang baru mulai beradaptasi dengan dunia digital sehingga mereka adalah kelompok paling rentan untuk dijadikan sasaran perang proksi.
Pemerintah juga mempunyai andil besar dalam menghadapi proxy war. Pemerintah harus memperkuat sistem keamanan siber nasional, termasuk di sektor publik dan swasta, untuk melindungi data penting dan mencegah serangan siber yang dapat melumpuhkan negara. Selain itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan juga harus menyediakan platform sendiri agar mengurangi ketergantungan pada teknologi asing yang rentan terhadap infiltrasi atau kontrol asing. Pembangunan dan pemanfaatan teknologi lokal adalah bagian dari bela negara di era digital.
Pada pokoknya, proxy war di era digital adalah ancaman nyata yang tidak selalu terlihat secara langsung tetapi sangat merusak jika dibiarkan. Bela negara dalam konteks ini membutuhkan kesadaran kolektif bahwa pertahanan nasional tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada kecakapan digital setiap warga negara. Melalui literasi digital, ketahanan siber, dan kesadaran akan ancaman informasi, Indonesia dapat melindungi dirinya dari berbagai bentuk proxy war yang tak kasat mata ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H