Konsep Manusia Hewan menjadi penggambaran yang relevan, untuk memahami bagaimana kekuasan digenggam dan dipertahankan oleh rezim Republik ini. Dengan menghalalkan segala cara, elit politik merubah tatanan perundang-undangan yang sudah ada. Apapun itu akan dilakukan, demi kepentingan pribadi dan kolega.
Kontradiksi inheren antara sifat manusia sebagai makhluk yang berakal dan hewan yang instingtif menjadi menarik untuk dibahas. Dalam benak saya muncul pertanyaan, bagaimana manusia mampu menjadi manusia seutuhnya (Insan Kamil)? bagaimana bisa pendidikan tinggi dan pemahaman ilmu pengetahuan yang begitu banyak, tertutup oleh insting hewani yang rakus dan tamak?.
Ki Suryomentaram, seorang filsuf dan psikolog Jawa, memiliki pandangan yang mendalam tentang konsep Manusia Seutuhnya (Insan Kamil) dan Manusia Hewan (Insan Khayawan), yang berakar pada pengalaman spiritual dan refleksi filosofisnya.
Dalam pandangan beliau, Manusia Seutuhnya (Insan Kamil) adalah manusia yang mampu memahami dan mengendalikan rasa atau raos. Dalam pemikiran Jawa, rasa tidak hanya merujuk pada perasaan, tetapi juga mencakup kesadaran dan pemahaman yang lebih dalam mengenai diri sendiri dan dunia (Sholeha and Yazid 2023).
Manusia Seutuhnya adalah mereka yang mampu mengenali dan mengelola perasaan, pikiran, dan keinginannya, sehingga tidak terjebak dalam dorongan nafsu atau keinginan yang tidak terkendali. Mereka juga sadar akan hubungan mereka dengan alam semesta dan makhluk lain, serta berusaha hidup dalam harmoni dengan prinsip-prinsip universal.
Sebaliknya, Manusia Hewan (Insan Khayawan) dalam pandangan Ki Suryomentaram adalah manusia yang dikuasai oleh naluri dasar atau insting hewani, seperti dorongan untuk bertahan hidup, berkuasa, dan memenuhi kebutuhan jasmani tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika. Manusia hewan tidak mampu mengendalikan rasa mereka, mereka hidup berdasarkan dorongan-dorongan yang tidak terkontrol, dan cenderung egois serta destruktif (Kholik and Himam 2015).
Di sisi lain, Raden Mas Sosrokartono melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus-menerus mencari keseimbangan antara aspek lahir (fisik) dan batin (spiritual), dimana pemenuhan jasmani harus selalu dikaitkan dengan kepekaan terhadap nilai-nilai spiritual. RM Sosrokartono menekankan bahwa keseimbangan antara lahir dan batin adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang harmonis. Ketidakseimbangan di antara keduanya dapat menyebabkan penderitaan dan ketidakbahagiaan (Muniri 2023).
Menurut RM Sosrokartono, manusia harus mampu menjalani kehidupan duniawi sambil tetap terhubung dengan nilai-nilai spiritual. Ini berarti mampu bekerja dan beraktivitas di dunia nyata, tetapi dengan kesadaran batin yang tinggi, sehingga tindakan yang dilakukan selalu berlandaskan moral dan kebijaksanaan. Keseimbangan ini menciptakan harmoni dalam diri manusia dan juga dalam hubungannya dengan orang lain serta alam semesta (Muniri 2023).
Konsep Manusia Hewan (Insan Khayawan) tergambar jelas dalam kasus putusan kontroversi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memunculkan presepsi negatif dari berbagai lapisan masyarakat. MK secara tiba-tiba melakukan perubahan konstitusi mengenai (Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah) dan (Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah).
Dalam putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah bagi partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi didasarkan pada perolehan kursi di DPRD, melainkan hanya pada perolehan suara sah di daerah yang bersangkutan. Ini berarti, partai-partai kecil atau partai tanpa kursi di DPRD memiliki peluang lebih besar untuk mengusung calon dalam Pilkada.