Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Hari Tiga Tahun Untuk Anakku

18 Februari 2012   09:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Yang kini menjadi pertanyaanku, bagaimana jika terjadi karena warisan generasi? Turun-temurun kehilangan pegangan, saat mengolah cara mengatasi kenyataan yang dihadapi. Apakah selalu dengan reaksi, yang mudah menyerahkan jawaban kepada langkah-langkah pintas? Aku adalah seorang ayah. Yang harus melepaskan kebencian dan dendam lama, yang sengaja aku benamkan ke dalam lautan kelupaan. Agar merekatkan pancaran ketulusan dari mulutku, dengan kata-kata peneguhan kepada luka-luka batin anakku. Karena itu tidaklah salah. Aku harus sekali-kali mengambil resiko kehilangan satu hari kerja. Mencermati apa yang sesungguhnya terjadi. Menemukan jawaban yang selaras dan tepat, atas kesalahan-kesalahan yang sama selama tiga tahun. Sang waktu akan menunjukkan arah telunjuknya, sekalipun aku sengaja memilih dalih lupa."
-------------

Tiga tahun telah berlalu. Kini anaknya duduk di bangku SD kelas 6. Sang ayah kembali sengaja cuti. Ia ingin sekali berada di sana sebelum bubar. Sekalian membuktikan kebenaran cerita-cerita yang berseliweran di telinganya.

"Mudah-mudahan kelegaanku selama ini lebih diyakini, setelah melihat kembali pergaulan mereka sehari-hari. Ada yang mengabari, bahwa banyak di antara mereka yang merasakan suasana keramaian, karena kehadiran anakku. Sebaliknya sunyi senyap jika ia tidak masuk sekolah. Benarkah jagoanku ini telah menjadi jawara dengan pribadi yang menghangatkan kegembiraan bagi yang lain? Tentulah ini sebuah anugerah."

Senyum sang ayah berseri-seri menghiasi rasa syukurnya. Sesaat mereka terlibat dalam sebuah percakapan, bagaikan naskah drama yang hidup dan tak mungkin terlupakan sepanjang hidupnya.

Natali : Om! Tadi di kelas aku ditendang Abang.
Teman Natali : Bohong Om, Natali hanya cari perhatian Abang.
Ayah abang (Om) : Benar Abang tendang Natali di kelas tadi?
Abang dengan wajah heran berkata : Masak aku tendang perempuan!

Walaupun sang ayah belum begitu mengerti tentang istilah perhatian menurut pengertian mereka, tiba-tiba ia terperangah. Entah dari mana datangnya halilintar yang menyambar kelegaan pembuktiannya hari ini? Ketika pendengarannya tertembus dengan satu pertanyaan, setelah sang anak mendekati dan berbisik, "Ayah, sekarang aku boleh enggak pacaran dengan Natali?" Senyum ayah tidak berubah sedikit pun. Seakan-akan mengamini. Lalu berakhir dengan gerak kepala ke kiri, dan ke kanan. Perlahan-lahan, berulang-ulang. Dalam hati terucap, "Berat nian tugas ayah. Bebannya terasa menghimpit ke seluruh anggota tubuh. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Lah, dahulu hanya satu hari untuk tiga tahun. Waduh... kali ini, bakalan habis tak tersisa lagi, semua masa cutiku."

------------------------------------
Catatan: Reposting (diedit kembali). Sekedar sharing. Dan khusus didedikasikan untuk Bang Edy Priyatna. Rasanya pernah tersapa berapa kali. Tapi tetap yang terkesan adalah persahabatan dan gaya kebapaannya yang tulus dari beliau. Semoga diperkenankan atas doa dengan harapan, segeralah sembuh. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun