Dia akan berjalan menapaki tangga panggungnya malam nanti. Kerisauan kerap kali terjadi, normal untuk sebuah konser. Tetapi acara telah teragenda matang. Musik harus dimainkan, musik harus terus berjalan. Begitulah kecintaannya memerankan diri sebagai seorang konduktor. Dia menyadari, peran seni komunikasi ini harus luasa menyentuh alam bawah sadar. Karena itulah penghayatan semua partitur mesti dilakukan di awal. Agar terbentuk pemahaman maksimal dengan lebih merasuk sukma. Tidak apa-apa berempati, "Penyangkalan" menjadi konsep tematik menyeluruh.
Baton ini harus dibersihkan dulu dari debu-debu. Sekarang waktunya menuntaskan langgam tanya dan taksa yang mengaburkan kejelasan wirama. Seperti menikmati teater musikal dengan tabula rasa di balik lembaran komposisi. Demi sinyal balik jawaban definitif, ia justru ingin berlatih menilik jawaban dengan pertanyaan. Pintu prawacana dengan tanya harus dibuka lebar-lebar;
Adakah satu penyangkalan, engkau tidak harus menyalahkan diri sendiri, atau bahkan tidak harus menerima keadaan bersalah, seolah-olah kutukan takdir berlaku beda, dalam kebebasan tidak ada alasan lain yang lebih membebaskan, selain yang ada di langit ruang kebenaran diri, sungguhpun nihil akar dalam pengungkapan iman? Lalu ayunan baton bertanya, di mana letak sebab keberanian, terutama sekali dimana, keputusan memilih penebusan di atas keputusan memilih kuk minus beban? Satu awal antiklimaks menginvansi perut bumi, kawah dingin membeku, takut berdiri di bawah matahari. Anomali.
Adakah wilayah netral di antara satu dikotomi ekstrim, kondisi ideal duniawi dan yang sakral, kemanusiaan dan Ketuhanan? Lalu setiap metrum kembali bertanya, ibarat menyerahkan anggota tubuh dari kehidupan ke kematian, di mana titik mula perubahan jika cara sebelumnya mengalami transformasi alasan yang sama? Satu kecemasan ranum tersesap akal sehat, di antara sampah busuk tulang-tulang irasional, di antara bangkai mesin logika. Suram.
Adakah satu justifikasi dosa putih, langit terang paranada harus dideret notasi bebercak abu-abu? Awan putih lentur menggumpal kepekatan mendung hitam, saat akrobat abu-abu akan lebih terekspoitasi di teritori abu-abu? Lalu otoritas baton sejenak bertanya, dimana letak pertanggungjawaban membangun, memilih, membiarkan, pemindaian nilai subyektif? Tiga mata petir usai memberi isyarat, satu pukulan serentak menyakal kesadaran. Langit hitam menjadi lautan darah merah. Penyesalan.
Instrumen menguji hakekat layaknya menaklukkan penguasa dunia praksis , "Siapa yang menabur benih kebaikan tanpa syarat, akan menuai sampah-sampah jaman karena berelemen dasar kesia-siaan, melesat ke tubuh anekdot kebodohan." Namun keheningan membentur tembok pertanyaan tentang ketaatan dan pertanggungjawaban, ketika semuanya berlaku sama, pertarungan kebenaran sebatas kekerdilan jiwa. Tergantung pendengaran suluk dari guha purba kesendirian, apakah gema holistik mesti didengarkan? Dalam kesendirian;
Benarkah, awal kebebasan karena kebebasan tidak melacurkan segala arti, senada-seangkuh kelas uber alles berpenghuni, seindah-separas alter ego konspirator kuasai diri, bagai bening mata safir tertetes madat syurga bumi, karat analisa mesin generalisasi wira-wiri? wahai insan kamil di balairung, dimana sesungguhnya sutera halus kejemawaan menara babel dan kerendahan hati?
Haruskah tertutup rapat jendela tanya batin, kebenaran yang diberikan tubuh rudin mereka yang lain, stigma nilai abstrak sederajat iman berkasta, takut terkubur citra maha label 'manusia adalah manusia', tak jua lari di hadapan muka-muka hina, cibiran jua terucap manis seketika, hakimi para najis bodoh pasrah berdoa? mekanisme pertahanan diri tidak menggali makam sendiri?
Kepada siapa lagi bertanya, alasan empiris sahih tak terbantah, gugus nada dan kata di atas sabda-sabda, tiada bintang bercahaya, ekspresi seluas angkasa di bawah baton oratorio, tiada surga dan neraka, bebas terpasung seutas tali baja mitos-mitos menakutkan rasa, sesaat tiada lagi perdamaian dari mulut dan hati selain kehendak tersampir dusta?
Layakkah bagi Khalikul Alam, tatkala taat serta sujud pasrah, tiada suasana syukur menemani daya prima luhurkan jiwa, ketika kekuatan pengorbanan perlu ditanya lagi, mengapa.
--------------
Hem, aman. Status dikunci dulu hanya untuk masukan si ... (Deasy tiba-tiba menyapa di facebook).
Bang, catatanmu menakutkan aku. Kejam. Kelam. Hem, ini citra yah bang. Impersonal kan?
Deassy, benar, bukan masalah siapanya. Hanya menyorot habituasi mesin. Berarti, apapun wajah langit, sama toh maksud dan tujuan kita. Tos. Masukan ditunggu di kopdar yah! (Hiks, kejam? pernah gitu ke kamu? mengertilah Deassy, mengertilah. Menghayati tidak selalu sama dengan menginterpretasi. Tak dicubit habis pipimu nanti yah, siap-siap saja).
Bang, besok aku ada acara dengan teman-teman, gicu. Janji ketemu ditunda dulu yah, di sorry.
(Ups, bisa membaca hati rupanya dia) Benar-benar beruntung kamu, di okey. Dysentery juga okey-lah.
Catatan: Seri Baton Konduktor (Draft I) dari blog pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H