Ini negeri arogan. Ini negeri kaum chaos. FIFA telah dianggap pembohong. Indonesia tidak ada urusannya dengan FIFA. Nanti, kalau  pemain sepak bola kita berlaku satu lawan satu, silahkan. Nanti, kalau tidak mau pakai wasit lagi, silahkan. Tidak perlu diterapkan aturan yang berlaku di seluruh dunia, silahkan. Kacau, silahkan. Inilah wajah asli para pengurus PSSI, inilah wajah PSSI, inilah wajah Indonesia. Bagaimana nasip nilai sportivitas olahraga nanti? Deadlock kongres yang memalukan. Semua kesimpulan itu mudah dijadikan panenan opini. Tetapi inilah yang terjadi. Sepintas tidak berbeda dengan sidang-sidang yang sering terjadi di DPR. Sepintas membenarkan cengkraman kuat politik di dunia sepak bola tanah air, gamblang terlihat dari calon-calon pengurus. Berapa banyak dari calon-calon itu yang berasal dari dunia karier sepak bola? Demikianlah perasaan yang terekam dari Kongres PSSI, di Hotel Sultan Senayan, Jakarta, Jumat malam (20/5). Sementara hadir pula di arena kongres itu, anggota Komite Asosiasi FIFA, Frank Van Hattum, dan Direktur Keanggotaan dan Pengembangan Asosiasi FIFA, Thierru Regenass (1).
..
Seperti yang mungkin telah kita ketahui bersama, kongres ini akhirnya dihentikan Agum Gumelar tanpa hasil. Bersamaan dengan itu, ia menyatakan pengunduran diri dari Komite Normalisasi (KN). Kongres ditutup dengan palu pukul 20.45 WIB (2). Pernyataan tersebut tenggelam dengan suara-suara ricuh yang melebihi suasana di pasar rakyat. FX.Rudi Hadiatmo, salah satu anggota KN, juga melakukan hal yang sama, mundur.  Jika besok kongres ini dilanjutkan lagi oleh mereka, malukah nanti dengan ucapan sendiri? Tampaklah kondisi-kondisi yang bablas, tidak mampu diprediksi dan diantisipasi sebelumnya. Satu pertanyaan akan fungsi efektif atas target normalisasi. Padahal sebenarnya, di mata awam sekalipun, tanda-tanda perilaku berfriksi tajam dalam organisasi sudah jelas-jelas mencuat.
..
Ada Kelompok 78, bentukan atas klaim dukungan 78 suara dari total 101 suara yang berhak memilih. Pendukung calon Ketua Umum PSSI (George Toisutta dan Arifin Panigoro) ini, terkait dengan pelarangan pencalonan mereka dari FIFA, karena calon tersebut (Arifin Panigoro) terlibat dengan pembentukan Liga Primer Indonesia yang dianggap tabu (illegal) bagi organisasi sepak bola dunia ini. Sementara awal LPI terbentuk, selain karena prihatin atas prestasi sepak bola di kancah internasional, adalah juga karena pelanggaran PSSI yang tetap mempertahankan Ketua Umum yang terpidana, Nurdin Halid.
..
Pemilik kedaulatan tentunya mutlak ada di tangan anggota yang punya hak suara kongres, bukan FIFA. Tetapi beberapa syarat pencalonan seolah-olah menjadi domain FIFA, atau yang sering diistilahkan ikut "mempengaruhi". Salah satunya yang membutuhkan jawaban yang jelas dan tegas, apakah George Toisutta terlibat kegiatan illegal itu. Maka hal yang sama berlaku, kejelasan alasan penolakan atas pencalonan Arifin Panigoro karena "tabu", juga membutuhkan ketegasan dalam tahap-tahap cooling down selama masa normalisasi. Bukan semakin melebarkan perbedaan, prasangka-prasangka baru, dengan cara-cara pemaksaan karena alasan administrasi dan dikejar-kejar waktu penyelenggaraan kongres. Pemaksaan akan menimbulkan cara pemaksaan baru dari kelompok-kelompok yang merasa dipaksa. Padahal inti dan tujuannya sama, demi kemajuan prestasi sepak bola Indonesia.
..
Penulis sering mendengar istilah "politik bumi hangus" ketika terjadi pengalihan kekuasaan untuk kemerdekaan Timor Leste. Jika gagal, hancurin semuanya. Terlepas pro kontra peristiwa dulu itu, terlepas siapa yang menginginkan hal demikian bagi dunia sepak bola kita, hendaknya semua pihak, semuanya, jangan sampai sekali-kali terbawa, ikut-ikutan, membumi-hanguskan keinginan dan harapan masyarakat banyak, yang hanya ingin merasakan dan memiliki kebanggaan atas prestasi anak bangsa di panggung sepak bola internasional, jika tidak ingin terpaksa dipermalukan oleh bangsa sendiri. Pastaskah perilaku ini dipertontonkan dengan mata telanjang, di depan pecinta sepak bola Indonesia, di hadapan rakyat banyak, di depan pemain-pemain sepak bola Indonesia yang menjadi barisan terdepan ketika bertanding? Lagi-lagi terjadi "bumi hangus" kewibawaan kepengurusan PSSI, setelah kekisruhan kongres di Pekanbaru tanggal 26-3-2011 lalu. Padahal keteladanan, motivasi serta daya juang pemain, juga menjadi tanggung jawab yang melekat dalam diri pengurus. Masih perlukah nasionalisme mereka yang telah kita rasakan bersama dipertaruhkan, ketika prestasi pemain nasional PSSI akhir-akhir ini telah mampu menunjukkan tanda-tanda kebangkitan? Semoga para pemilik hak suara kongres, mampu memiliki kemandirian menentukan sikap, murni demi kebangkitan prestasi dan kebanggaan kita semua. Ingat-ingat itu. Malu dengan dasi sendiri.
Sumber informasi dan gambar :
http://www.thejakmania.net/2011/05/ricuh-agum-hentikan-kongres-pssi/.
http://rimanews.com/read/20110520/28765/ricuh-kongres-pssi-dihentikan-rudi-hadiyatmo-mundur-dari-kn
Pengungah Indie471 (TVOne):Â http://www.youtube.com/watch?v=B31jm9dxreU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H