Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Jilid II, Revolusi, Sistem (Feedback), Mana Jalan Keluar? (IV)

19 April 2010   23:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekecewaan dan Solusi

Diantara pembaca Kompasiana pasti ada yang sudah sering mendengarkan beberapa materi sebelumnya. Hanya mungkin lupa angka angkanya. Pengulangan ini sengaja dihadirkan, sekalian melakukan review atas peristiwa peristiwa yang mengusik rasa keadilan kita. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan rakyat kita saat ini? Walaupun tidak ada perubahan mendasar dalam periode I jabatan presiden SBY, rakyat masih menaruh kepercayaan dengan angka fantastis, 60%, mengantar dirinya terpilih kembali.

Pembangunan kini dan kedepan, BangKemal yakini hanya berjalan ditempat. Sebagian kecil rakyat, ada yang merindukan kembali ke jaman Soeharto. Rejeki lebih gampang. Bahkan bagi mereka yang mengalami masa orla, dan masa penjajahan, mengatakan ekonomi sekarang tidaklah lebih baik dari jaman mereka. Selama perut terpenuhi antara 1 – 2 kali makan dalam sehari, emosi rakyat masih dalam batasan toleransi. Ukurannya apa? Ukurannya adalah grafik pencitraan. Kalau turun, mesin politik pencitraan penguasa akan bekerja ekstra. Rakyat tidak emosi lagi.

Beberapa hari lalu, teman facebooker menunjukan alamat facebooknya SBY. Saya lihat juga Megawati. Ingat, harus berimbang bukan? Tapi terkaget BangKemal. Inilah cerminan rakyat kita. Tidak semua memang. Mengapa kita selalu mengeluarkan hawa perut? Seperti anak kecil. Saya sorot perilaku, puji pujian berlebihan. Fanatisme buta. Ah, hak oranglah. Tampak daya kritis hilang pada saat masuk ke dalam sistem. Terjebak sendiri. Saya tidak anti pribadi SBY atau Megawati. Lalu apa? Saya jawab dengan pertanyaan. Dimana letak sense of crisis, sense of responsibility, sense of belonging kita untuk rakyat banyak? EGP saja dengan realita? Rakyat kita pelupa, pemaaf, pemurah dan baik hati. Kritis adalah kejahatan. Sama jahatnya dengan koruptor. Wah. Ini tak lain tak bukan, budaya kerajaan. Selalu menyorot dan mengklaim orang dari pribadi. Beda sedikit dianggap antipenguasa. Buat blok pendukung sana sini. Terjebak sistem feodal. Makin mengerti saya, mengapa rakyat masih memilih pimpinan yang tak banyak melakukan perubahan, sesuai dengan bahasa kampanyenya.

Begini saja. Pembaca duduk manis sambil menghayal. Hayalin jadi presiden. Buat mesin propaganda. Jual image baik hati, sopan, santun bertutur, berwibawa, religius, nasionalis. Modal kita, rakyat berbudaya kerajaan. Bukan demokrasi. Rakyat inlander. Pemaaf dan murah hati. Makan batupun tidak apa apa. Yang berseberangan dirangkul plus dengan fasilitas wah. Hukum bisa ditegakkan? Tergantung popularitas. Salah jadi benar, benar jadi salah. Ngemplang saja utang sebanyak banyaknya. Toh rakyat yang menanggungnya. Maaf, kalau ada pendukung salah satu tokoh nasional kita yang tidak setuju. Refleksi ini jelas untuk semua. Setelah dihayalin, nyanyilah lagu berikut ini, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Jiwa siapakah itu? Pemimpin?

Tak baik jika tak memberi solusi. Singkat saja. Letakkan hakekat negara republik sesungguhnya. Kekuasaan negara ada di tangan rakyat. Perkuat feedback sistem demokrasi. Perluas mandat rakyat. Atur dalam UUD atau UU. Terapkan referendum, jajak pendapat, inisiatig, untuk amandemen, dan lain lain. Termasuk kontrol dan pengawasan melalui hak inisiatif rakyat atau apalah namanya nanti. Contoh cerita dulu, perlukah Timtim dilepas?, perlukah BBM dinaikkan?, perlukah pembuktian terbalik?, perlukah perjanjian blok dagang dengan China (ACFTA) dilaksanakan dan lain lain.

Ada baiknya kontrak politik selama kampanye, diikat dalam UU. Pusat maupun daerah. Contoh, tidak menaikkan harga BBM sebagai janji politik. Presiden yang melanggar, berarti melanggar UU. Maka kontrol langsung dari rakyat bisa kuat dan efektif. Isu yang tak terselesaikan di DPR/ DPRD, aspirasi rakyat bisa dijadikan penyelesaian. Jangan hanya berdasarkan pungutan suara parlemen. Tinggal perumusan yang tepat dan tidak menyimpang lagi dari hukum. Perwakilan difungsikan untuk mengatur koridor dan materi referendum atau jajak pendapat, agar hal hal yang mendasar, tidak menyimpang dari Pancasila dan UUD. Harapannya, kepentingan negara dan rakyat banyak tidak bias lagi (minimalisasi), karena berbentur dengan kepentingan partai, kepentingan pribadi.

Ini sebenarnya tujuan dan motif dari saya. Penguatan hak politik rakyat. Feedback kuat, pergolakan rakyat tidak harus berulang kembali. Ada saluran aspirasi yang terbuka. Tidak cukupkah kita, membiarkan sejumlah anak bangsa yang telah gugur, diculik, hilang, berkorban nyawa, setiap terjadi perlawanan rakyat? Satupun dia, dia adalah saudara kita. EGP saja? Mari bergandeng tangan membangun wawasan berpikir untuk maju. (Tamat)

BangKemal terbuka dengan kritik, pedas tidak pedas, berargumentatif dari Pembaca Kompasiana. Bisa dijawab syukur, tidak bisa mohon dimaklumi. Semoga sharing teman, bisa juga menambah wawasan pembaca lainnya...

<!-- @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } -->

Tulisan I, Tulisan II, Tulisan III, Tulisan IV

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun