Siapa saja di dunia ini pasti mempunyai sosok idola. Idola bisa seorang tokoh, politisi, aktris, ayah, ibu dan seterusnya. Dari balik keseriusan kita mengidolakan seseorang pasti ada alasan kuat yang menyertainya, bisa karena ketampanannya, kecantikannya, sifat dan karakternya atau prestasinya dalam bidang tertentu yang membuat idola kita menjadi bintang yang terkenal sekaligus bersinar.Â
Disaat fanatisme melanda pada diri orang yang kita idolakan tersebut, maka segala hal yang kita lakukan merujuk pada tokoh yang kita idolakan tersebut. Misalnya cara berpakaian, tatanan rambut, gaya hidup hingga karakter atau sifatnya pun merujuk kepada mereka.
Tokoh idola saya adalah Ibu. Bagi banyak orang mengidolakan seorang Ibu adalah tidak salah. Ibu adalah rahim, darinya lahir generasi-genarasi hebat yang berkontribusi pada pembangunan bangsa. Kita belajar banyak hal dari sosok seorang Ibu. Â Â Â
Ingatan saya tertuju pada peristiwa sekitar dua puluh delapan tahun yang lalu, lebih tepatnya saat saya masih duduk di bangku kelas 4 sek0lah dasar. Saya disuruh Ibu pergi ke pasar untuk membeli beberapa sayur mayur beserta bumbu-bumbu dapur lainnya. oleh Ibu saya diminta untuk mencatat. Satu per satu saya tulis dengan teliti supaya tidak ada yang tertinggal maupun salah beli. Kalau sampai ada yang  salah pasti Ibu marah. Jadilah saya berangkat, kebetulan lokasi pasar tidak jauh dari rumah, hanya sekitar 0,5 Km. Karena sering ke pasar saya sudah hafal di penjual mana saya harus belanja. intinya saya sudah punya pedagang favorit, pedagang itu menurut penilaian saya pelayanannya memuaskan, ramah dan harga dagangan lebih murah. itu saja.
Bukan hanya disuruh belanja ke pasar. Sejak usia saya 9 tahun, Ibu memperlakukan saya dan saudara-saudara saya untuk hidup sederhana dan mandiri. Saya anak nomor dua dari 3 bersaudara, kakak saya laki-laki, adik saya perempuan dan laki-laki. kami berempat diperlakukan sama oleh orang tua kami. Setiap hari kami harus membersihkan rumah, seperti menyapu, mengepel, mengelap kaca jendela, dsbnya. Mencuci piring dan seminggu sekali kami mencuci baju sendiri-sendiri. Â Â
Tentu saja ada perasaan yang tidak nyaman dengan perlakuan seperti itu. Maklum saja, kami tinggal di sebuah Perumahan di kota Solo yang kebanyakan anak seusia kami pada waktu itu menghabiskan waktunya untuk bermain bersama dengan teman-teman sebayanya. Maklum dahulu gawai belum marak seperti saat ini. Jadi aktivitas bermain bersama, seperti petak umpet, bermain layang-layang, mencari jejak, bermain kelereng, betengan menjadi alternatif pilihan bermain pada saat itu.
Saya kagum pada sosok orang tua. Ayah dan Ibu. Walaupun begitu lewat tulisan ini saya ingin memberikan sedikit pengalaman perjumpaan saya bersama seorang Ibu yang sungguh membekas dalam diri pribadi saya sampai dengan saat ini. Kasih sayang dan ketegasannya dalam mendidik anak-anaknya mampu membentuk karakter yang tidak mudah cenggeng, tekun, Â mandiri, setia, bertanggung jawab dan sebagainnya.Â
Pujian itu rasa-rasanya tak salah disematkan pada totalitas seorang Ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Dia mempunyai cara yang jitu dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Bisa jadi cara-cara itu dipengaruhi pula oleh faktor sosial budaya yang berlaku di sebuah masyarakat. Harus diakui bahwa masih banyak masyarakat kita yang bias gender dalam mengasuh dan mendidik anak. Bahkan ada orang tua yang seringkali membedakan-bedakan tanggung jawab antara anak laki-laki dan perempuan dalam urusan pekerjaan rumah. Anak perempuan seringkali ditempatkan dalam urusan pekerjaan rumah, seperi memasak, bersih-bersih rumah, menyuci baju, menyuci piring dan sebagainya. Sedangkan anak laki-laki dibebaskan bermain sesuka hati. Kalau seperti ini terus terang saya prihatin.Â
Membentuk karakter seseorang itu tidak bisa instan. Butuh proses panjang, terkadang berliku-liku dan tak mulus. Ada banyak pertentangan, perbedaan pendapat bahkan dari orang-orang terdekat.Â
Kemerdekaan orang tua dalam mendidik anak tidak bisa serta merta dilakukan karena kita hidup dalam arus budaya adat istiadat yang masih kental. Budaya yang berlaku terkadang merugikan pihak-pihak tertentu di dalam masyarakat. Misalnya konsep perempuan adalah konco wingking yang bagi banyak orang sering disalah artikan.Â
Kalau saya laki-laki pun boleh dan sah-sah saja menjadi konco wingking, saya memaknainya sedari dulu Toh, di dalam kehidupan berumah tangga yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan rumah adalah laki-laki dan perempuan.Â