Konsitusi mengamanatkan bahwa negara wajib memelihara fakir miskin, mengembangkan sistem jaminan sosial, pemberdayaan, dan menyediakan akses kesehatan dan pendidikan. Implementasi amanat UUD 1945 ini terus menemukan bentuknya yang paripurna dari waktu ke waktu. Sampai akhirnya, pada tahun 2007, Indonesia menerapkan Program Keluarga Harapan (PKH).
PKH merupakan sebuah mekanisme pemberian bantuan yang terinspirasi dari Bolsa Familia, sebuah mekanisme pemberian bantuan ala pemerintah Brazil. Secara teori, baik program Bolsa Familia maupun PKH tergolong kedalam bentuk Conditional Cash Transfer (CCT). CCT merupakan sebuah bentuk tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan jaminan sosial. Soal sukses atau tidak, biasanya orang lain yang memberikan apresiasi.
Indonesia pun begitu. Saat suhu politik terus memanas, penurunan angka kemiskinan yang terjadi dari tahun 2017 ke tahun 2018 dianggap sebagai angin lalu. Sampai kemudian 14 negara datang ke Indonesia dan belajar tentang PKH.
Negara yang terdiri atas Nigeria, Malaysia, Philippine, Timor Leste, Myanmar, Fiji, Papua Nugini, Vietnam, Mongolia, Korea, Laos, Pakistan, Uzbekistan dan Azerbaijan tersebut mengakui keberhasilan Indonesia menurunkan angka kemiskinan dari 26,58 ke 25,95 juta orang.
Angka penurunan tersebut merupakan pertama kalinya dalam sejarah Indonesia. Sebab baru kali ini negeri ini memiliki angka kemiskinan hanya satu digit, yakni 9,82 persen. Negara-negara diatas mengakui kalau penurunan tersebut merupakan salah satunya pengaruh dari pelaksanaan PKH, karena pada saat yang sama ada penambahan jumlah peserta PKH sebanyak 4 juta penerima. Sehingga secara total ada 10 juta penerima PKH di Indonesia.
Jumlah tersebut akan naik lagi menjadi 15 juta penerima manfaat PKH. Sebab APBN 2019 sudah menganggarkan untuk PKH sebesar Rp32,65 triliun dari sebelumnya sebesar Rp19,4 triliun. Kenaikan anggaran ini juga disebabkan perubahan skema bantuan yang dikembalikan seperti di zaman PKH awal dan menggantikan sistem flat yang sudah berjalan sejak 2016.
Duh, beban APBN. Memangnya PKH bakal efektif?
Pertanyaan semacam itu pasti sempat terlontar manakala muncul nomenklatur anggaran negara seperti diatas. Apalagi, tensi politik yang semakin meninggi akhir-akhir ini bakal menjadikan isu tersebut santapan lezat untuk digoreng. Tapi publik seyogyanya mesti tetap tenang. Pasalnya ada tiga pilar di PKH yang akan menjawab soal efektivitas tersebut.
Pendampingan
Semua program pemerintah hari ini rata-rata membutuhkan peran pendamping yang biasanya diambil dari warga setempat yang memenuhi persyaratan tertentu. PKH pun begitu. Ada pendamping program yang saat ini disebut dengan Pendamping Sosial. Satu orang Pendamping Sosial membawahi 200 hingga 500 keluarga penerima manfaat dalam satu atau beberapa satuan wilayah.
Pendamping Sosial ini bertugas untuk melakukan seluruh tugas PKH mulai dari validasi, verifikasi komitmen, pemberian materi family development session, mendampingi pembayaran, hingga membawa penerima manfaat untuk graduasi. Graduasi inilah yang menjadi ujung dari PKH.