Mohon tunggu...
Bang Doel
Bang Doel Mohon Tunggu... Freelancer - Hallo, semua

Cuma suka lihat orang pada menulis, jadi kadang ikut-ikutan nulis. Buat mampir selain disini, silakan kemari: https://www.doel.web.id

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kata Siapa Ikut BPJS Hanya Untuk Sendiri?

18 September 2016   16:52 Diperbarui: 18 September 2016   23:31 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu yang mendapatkan Kartu Indonesia Sehat. (Sumber: dokumentasi pribadi)

 

Namanya Ibu Nurmiyati. Tetangganya biasa memanggilnya dengan Yati saja. Ibu dari tiga orang anak ini merupakan single parent. Selain kepada Tuhan, dia menaruh harapan rejekinya pada penghuni perumahan di sebelah tempat tinggalnya. Mulai dari mencucikan baju, mencuci piring, memijat, hingga membantu bidan dalam proses persalinan, dilakoni ibu usia 40 tahun ini. Ia serba bisa, dan oleh karenanya ia mampu menghidupi ketiga anaknya meski pas-pasan.

Pola bertahan hidup yang selama ini dipegangnya ternyata tak selamanya bisa diandalkan. Satu ketika, ia jatuh sakit. Kakinya terkilir, yang mana kata ahli tulang, saraf Yati terjepit. Di rumah tinggalnya di Blok Askal, Sindang, Indramayu, Yati tak mampu berjalan jauh. Perempuan yang biasanya paling mobile di lingkungannya ini, harus pasrah akan keadaan yang membuatnya terdiam selama beberapa hari.

Saya tahu, ia segan berbicara masalah biaya pengobatan. Tapi dari kesehariannya, saya memahami kondisi tersebut, dan memaklumi mengapa ia tak segera menghubungi pihak medis yang sebenarnya sering dibantunya. Pola bertahan hidup yang dimilikinya memang hanya bisa menopang biaya pokok, tak ada biaya cadangan untuk kondisi darurat semacam ini. Dan akhirnya setelah saya desak, ia membuka diri.

"Saya bingung, pak. Khawatir biaya berobat saya nanti besar. Biarlah di (pengobatan) alternatif saja," ujarnya.

Sekedar informasi, Yati merupakan salah satu ibu-ibu dampingan saya dalam program bantuan sosial yang dihelat Pemerintah. Namun untuk urusan advokasi kesehatan, saya hanya ditugaskan mendata saja, belum pada wilayah advokasi yang lebih jauh. Dan alhamdulillah, berdasarkan data, Yati merupakan pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS).

"Ibu 'kan dapat KIS, nanti bisa dibantu sama bu Maryam," kataku mencoba menjawab permasalahannya.

Bu Maryam adalah bidan desa yang sering dibantu Yati ketika membantu orang bersalin. Namun masalah ini tak diceritakannya kepada Bu Maryam. Mungkin persoalan biaya itu yang mengganjalnya. Dan akhirnya, lewat saya, Bu Maryam pun tahu kondisi sebenarnya termasuk kepesertaan KIS yang dimiliki Yati. Tanpa basa-basi, Bu Maryam pun merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat agar Yati segera diberi penanganan.

Seminggu kemudian, saya pun berkunjung kembali ke rumah Yati. Alhamdulillah, dia sudah beraktifitas sebagaimana biasa.

"Maaf, pak, tadi membantu tetangga mengurus KTP di Balai Desa," jawabnya sambil terengah-engah.

Aku hanya tersenyum saja. Bersyukur atas kesembuhannya.

"Saya 'kan waktu berobat kemarin nggak bayar. Siapa yang membayar ya? Bu Maryam, apa Bapak?" tanyanya.

Gotong Royong Menolong Si Sakit

Lantas saya jelaskan saja duduk perkaranya. Bahwa Yati adalah satu dari 87 juta peserta KIS yang merupakan warga penerima bantuan iuran (PBI). Jadi ia peserta BPJS namun tanpa membayar iuran bulanan. Namun, pemegang KIS adalah peserta kelas 3, yang berarti jika membayar, maka iuran yang harus disetorkan adalah Rp.30.000,00. Itu jika dia sendiri. Nah, bagaimana dengan ketiga anaknya? Maka dia harusnya membayar sebesar Rp.120.000,00 per bulan. Dan dari raut mukanya, saya tahu dia merasa berat mendengar angka seratus dua puluh ribu itu.

"Dan karena ibu punya KIS, maka uang seratus dua puluh ribu yang harusnya disetor itu, alihkan saja ke kebutuhan ekonomi. Syukur-syukur ditabung untuk modal usaha," jawab saya, yang diiringi sumringahnya.

Pelan-pelan, ibu-ibu yang lain pun berdatangan. Para ibu ini merupakan peserta program juga, sama seperti Yati. Dan Yati adalah ketua kelompoknya, rumahnya adalah 'base camp' pertemuan kelompok yang setiap bulan rutin dilaksanakan.

"Nah, ibu-ibu, perhatikan, dan sampaikan ke semua orang, bahwa ini sistem yang dibuat oleh pemerintah. KIS yang dimiliki oleh ibu ini, dibayari juga oleh peserta lainnya. Ibu-ibu adalah penerima iuran, dan peserta non-KIS tetap membayar iuran mereka, namun secara tidak langsung juga membantu ibu-ibu disini,"

Sepertinya bahasa yang saya sampaikan terlampau rumit.

"Begini, bu. Misalnya ada Pak Darkim yang ikut BPJS Kesehatan kelas 3, dan ia membayar iurannya setiap bulan. Tapi Pak Darkim ini, alhamdulillah sehat terus, jadi iuran yang disetorkan oleh beliau digunakan untuk membiayai peserta lain yang jatuh sakit. Seperti contoh Ibu Yati kemarin," terang saya.

Hitung-hitungannya menurut Bayu Wahyudi, selaku Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, 1 pasien DBD bisa dibiayai dari 80 iuran peserta yang sehat. Ini berlaku juga untuk penyakit yang lain, misalnya kanker, dimana 1 pasien bisa dibiayai oleh iuran dari 1.253 peserta yang sehat. Atau orang yang bersalin yang menempuh persalinan sectio caesaria bakal dibiayai dari iuran 135 peserta yang sehat. Saling membantu, dan saling bergotong royong.

Gotong Royong Membantu Pembangunan

Yati merupakan salah satu contoh terdekat yang dibantu oleh program Jaminan Kesehatan Nasional dalam bentuk KIS. Dan itu berarti para peserta yang membayar iurannya, secara tidak langsung membantu Yati kembali menjadi penopang hidup bagi tiga anaknya. Namun apakah cuma itu yang bisa dilakukan BPJS Kesehatan dalam memenuhi tanggung jawab negara yang termuat dalam UUD '45 Pasal 28 H Ayat (3) dan Pasal 34 Ayat (2). Ternyata itu hanya bagian kecil saja. Ya, menolong warga pra-sejahtera yang sakit hanya bagian kecil dari fungsi BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan mengumpulkan iuran dari masyarakat tidak serta merta untuk kepentingan jangka pendek saja. Ada kepentingan jangka panjang yang senantiasa diperjuangkan oleh program JKN lewat BPJS. Menurut hasil penelitian Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) yang dimuat oleh Kompas.com, program JKN yang dijalankan oleh BPJS ini telah berkontribusi banyak dalam pembangunan kesehatan Indonesia.

Tercatat dalam laporannya selama 2014, program JKN berkontribusi dalam industri kesehatan sebesar Rp.4,4 Triliun, obat-obatan Rp.1,7 Triliun, lapangan kerja di bidang kesehatan Rp.4,2 Triliun, dan pembangunan rumah sakit sebesar Rp.8,36 Triliun. Sehingga jika dihitung, maka total kontribusi JKN untuk pembangunan sektor kesehatan sebesar Rp.18,66 Triliun. Nilai ini tentu saja bakal terus meningkat, seiring semakin bertambahnya jumlah peserta BPJS.

"Jadi, jika ada tetangga ibu yang kebetulan tidak memiliki KIS karena sudah mampu membayar iuran, tolong bilang saja, bayar iuran BPJS ini hitung-hitung berbuat amal membantu orang,"

Ibu-ibu ini mengangguk.

Tapi ada salah seorang ibu yang kebetulan ikut dalam pembicaraan kami dan bertanya.

"Pak, saya dengar peserta BPJS sering dipersulit bahkan ditolak oleh pihak rumah sakit, benarkah begitu?" tanyanya.

Ibu-ibu yang lain sepertinya setuju dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan ini sepertinya sangat mewakili mereka. Dan sejurus kemudian, mata mereka terfokus pada saya, menanti jawaban yang memuaskan.

Perihal penolakan pasien peserta BPJS oleh rumah sakit sebenarnya perlu diklarifikasi lebih lanjut. Pasalnya, jika ada rumah sakit yang tidak mau menerima pasien peserta BPJS, maka ijinnya bakal dicabut oleh pemerintah. Memang pernah ada protes dari rumah sakit swasta yang menolak pasien BPJS tersebab aturannya belum disinergikan pada tahun kemarin. Namun mulai tahun sekarang, kondisinya berangsur-angsur membaik.

"Hanya memang jika kita peserta kelas 3, maka kita bakal mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kepesertaan yang dimiliki," jawab saya.

Penutup

Ada banyak orang serupa Yati dan ibu-ibu disini, yang tak paham akan deretan perlindungan sosial dan jaminan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah. Dan jika mereka mendapati pemahaman, mereka tahunya bahwa apa yang mereka dapatkan pun serta merta dari dana pemerintah. Sementara di sisi yang lain, pembayar iuran bulanan di BPJS merasa mereka memberi uang di loket untuk kepentingannya sendiri. Bahkan ketika ada salah satu peserta yang sakit, mereka merasa bahwa biaya yang dibayarkan oleh BPJS adalah uangnya, bukan uang iuran bersama.

Sifat individualistik ini mesti dihentikan. Sifat ini menegasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang terbangun dari azas kolektifitas dan gotong royong. Yati dan ibu-ibu di sekitarnya, mohon maaf, yang berpendidikan rendah, mungkin tak memahami alur rumit bagaimana JKN-KIS dan BPJS bekerja. Namun ketika diberi pemahaman bahwa uang yang dibayarkan oleh BPJS adalah hasil iuran, urunan, dan patungan dari orang lain, maka seketika mereka paham. Mereka berterima kasih pada BPJS, pemerintah, dan tentu saja pada orang-orang yang membayar iurannya.

Demikian. Salam hangat.

---------------------------------------------------------------

Facebook: Bang Doel

Twitter: @doel_im

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun