Begitu banyak tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), mulai dari kajian ilmiah klinis, analisa dampak ekonomi, politik, pemerintahan, kajian sosial masyarakat, hingga prediksi pemulihan (recovery prediction) akibat yg disebabkan oleh merebaknya virus ini.
Tak kurang banyaknya komentar-komentar tokoh publik hingga masyarakat awam baik yg benar-benar memahamj hingga yang sekadar "mengaku" faham, memberikan begitu massive-nya argumentasi positif sampai negatif bahkan doktrin-doktrin anti keilmiahan tentang Covid-19 ini.
Kemajuan sosial media dan teknologi informasi mainstream juga mempercepat arus info tersebut ke hadapan publik sehingga setiap saat masyarakat disuguhi dengan paparan stigma yg lebih parah dibanding penyebaran Virus itu sendiri dimana kita dituntut untuk bisa melakukan pemurnian (purefiying) dan spesialisasi (pemilahan) pada pola berfikir (mindset), pengambilan keputusan (desicion making) dan sikap mental (mental attitude) dalam menghadapi Corona ini.
Hari ini kenyataannya, ada kesimpangsiuran manajemen penyelesaian Corona mulai dari level regulasi, teknis hingga manajemen isu di masyarakat. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat partisipasi publik secara sukarela dan kesadaran pribadi dalam penanganan Covid-19.Â
Ada sisi dimana pemerintah ingin melakukan edukasi dan indoktrinasi pada masyarakat bahwa Covid-19 bukanlah momok penyakit yg tidak bisa dikalahkan dan disembuhkan bahkan dikendalikan, hal mana terungkap pada berbagai propaganda massal bahwa pemutusan rantai penularan "hanya" dengan melakukan kebiasaan mencuci tangan, melaksanakan Social / Physical Distancing hingga konsistensi penggunaan masker.
Disisi lain, secara umum rendahnya tingkat kesadaran ilmiah yang menjadi dasar pembentukan sikap hidup keseharian, membuat masyarakat abai atas anjuran-anjuran fundamen yg disampaikan pemerintah diatas serta bertambah-tambah dengan maraknya corak dan ragam informasi yang harus mendera sadar dan bawah sadar berfikir manusia yang menjadikan pribadi-pribadi yang "bebal" (abai kesadaran hidup).
Pemerintah tidak akan mampu mengatasi dampak Corona ini secara partikular (sepihak), bahkan dengan kemampuan financial recovery yg mumpuni tanpa ada satu partisipasi public yang berdasarkan kesadaran ilmiah dalam sikap hidup dan kepatuhan dalam pelaksanaannya.
Dengan di launching-nya "New Normal" menjadi satu kekhawatiran yg patut di perhitungkan dan difikirkan bahwa tanpa kesadaran ilmiah dalam sikap hidup dan kepatuhan maka yang terjadi adalah kita akan sampai pada puncak masalah yg lebih tinggi dari grafik fase kedua perjalanan siklus hidup dan penanganan Corona.
Puncak kedua ini disadari akan membawa implikasi korban dan penyebaran jauh lebih hebat dari fase pertama.
Mari kita sadari lebih awal dengan satu kepatuhan yang inisiatif (sukarela) dan partisipatif (keterlibatan), proaktif (aksi) serta provokatif (pengaruh positif). Bahwa sehebat apapun program pemerintah baik dari sisi pencegahan, pengendalian dan penanganan virus serta pemulihan dampak-dampaknya, dipastikan tidak akan berjalan dan maksimal tanpa ada sokongan masyarakat karena semua sasarannya adalah masyakat itu sendiri.Â
Mari menjadi role model (contoh hidup) dan role agent (agen perubahan), paling tidak bagi cluster terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga kita sendiri sehingga cita-cita negara menjadi "New Normal" yaitu mencapai satu tingkat kesadaran dan sikap hidup yang baru menghadapo Covid-19 dapat segera tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H