Keteduhan masjid ini memayungiku sedari tadi, membersamai kelembutan suara tilawah lirih yang berpadu dengan hembusan angin yang malu hingga mencipta sebuah melodius yang begitu religius. Lantai yang dingin menghancurkan segala amarah, gundah serta rasa menyerah dan menggantikannya dengan sikap pasrah pada yang Maha Indah. Aku memilih bersandar di salah satu tiang masjid bagian luar, menikmati kesegaran angin yang bercanda dan mengembalikan tulang-tulangku pada posisinya.
Sebuah kumpulan cerpen dengan cover warna biru menemaniku. Entah mengapa aku selalu suka warna ini, sesekali pandangku menyapu sekitar masjid ini. Pepohonan yang ceria bergoyang tak kuasa menahan godaan angin, berdiri kokoh diantara rerumputan yang menghijau. Para pedagang yang berbaris rapi di gerbang masuk tempat ini dan… Mereka.
Mereka yang selalu membuat hatiku berdebar tak menentu. Dua insan muda yang selalu menampakan kebahagiaan dan keceriaan di wajahnya, senyuman bahagia yang menambah keindahan tiap kali kehadirannya mewarnai tempat ini. Bahkan kadang ada beberapa pasangan muda lainnya yang menggandeng seorang anak kecil dengan wajah polos tanpa dosa, tanpa beban, dan tanpa guratan rasa takut. Suasana yang mampu membuat jiwaku bergolak, hatiku tak bisa menolak bahwa aku ingin seperti mereka. Melukis sebuah rasa yang bernama cinta, menyatukan dua hati dalam ikatan keluarga. Beeuuh.. Kalau sudah seperti ini kadang aku hanya bisa tersenyum sendiri sambil membayangkan bagaimana kisah cintaku nanti.
Seketika lagu “Galau” dari Tim Nasyid Suara Persaudaraan mencandai hayalku yang sedang terbang tinggi. Itulah mengapa aku sangat suka sekali duduk berlama di masjid ini, masjid yang penuh ketenangan, masjid yang sejak aku SMU menjadi tempat persinggahan utamaku, masjid yang mulai memberikanku rasa cinta. Di Masjid Ukhuwah Islamiyah Kampus UI Depok hatiku tertambat.
30 menit sudah berlalu sejak jamaáh menyelesaikan sholat dzuhur. Hari ini aku berjanji bertemu dengan temanku, Wahyudin. Amplop warna coklat berukuran besar masih tersembunyi rapi di dalam tas punggungku. Aku harus menyerahkannya pada Wahyudin hari ini. Dua minggu lalu aku bercengkrama dengan dia, berbicara seputar masalah bisnis yang akan kami jalani sampai akhirnya masuk ke ranah pembahasan masa depan. Aku hanya bisa tersenyum bila mengingat pertemuan terakhirku dengannya di masjid ini. Senyumku mengantarkan hayalku kembali ke hari itu.
---o0o---
“ Bro, pasangan-pasangan muda itu bahagia banget yaa..” Ucapku memecah keheningan yang ada.
“ Iya lah bro.. Mereka kan sudah mengenapkan agamanya. Dengan menikah mereka menjadi lebih kuat dan saling melengkapi satu sama lain” jawab Wahyudin singkat.
Aku tak begitu memperhatikan jawaban Wahyudin karena bagiku pandangan di depanku sudah menjawab semuanya. Tiba-tiba aku berkata lirih
“ Bro.. kayaknya gw dah siap” kalimatku terhenti di situ.
“Siap apa.. eeehmm?” balasnya diakhiri suara yang membuatku agak ragu memberikan jawaban selanjutnya.