Mohon tunggu...
Bang Auky
Bang Auky Mohon Tunggu... Freelancer - KBC 54|Kompasianer Brebes Jateng| Golet Jeneng Disit Mengko Jenang Teka Dewek

Pariwisata adalah locomotif ekonomi baru dimana banyak gerbong yang mengikuti dari UMKM, Transportasi, Pemandu Wisata, Hotel dan Restoran, Seniman, Souvenir dan mitra-mitra pariwisata yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Centong, Pertikaian Dua Saudara yang Berakhir Indah

10 Maret 2020   20:17 Diperbarui: 10 Maret 2020   20:31 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita menghadiri acara pernikahan / hajatan di Kecamatan Ketanggungan atau Banjarharjo dan sekitarnya sering kita disuguhkan tarian Perang Centong. Atau kita bisa melihatnya jika kita menghadiri acara Ngasa Jalawastu. 

Tarian yang diperagakan oleh dua orang g menjadi suguhan welcome dance atau tarian selamat datang. Unsur beladiri terasa kental pada suguhan tarian ini. Perpaduan gerak tangan dan kaki menjadi ciri khasnya. Perangkat dapur seperti centong, kipas,  kendi, kukusan nasi menjadi piranti tari. 

Penari dengan iringan gamelan sunda mempertontonkan gerak tubuh cekatan dan dinamis  memperebutkan kendi yang berisi telor.  Ini simbol sebagai gambaran Nur atau cahaya Islam yang ditawarkan Gandawangi kepada adeknya. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Isi cerita dari tari Perang Centong adalah perang saudara antara Gandasari dan Gandawangi.  Perang kesaktian antar dua saudara untuk mengabarkan kebajikan,  untuk memeluk keyakinan yang baru yaitu agama Islam. Namun sang adik tidak mengindahkannya sehingga terjadilah petang kesaktian antar kakak beradik, dan dimenangkan oleh Gandasari. 

Sesuai perjanjian Gandasari menetap di Jalawastu, sedang Gandawangi harus keluar dari Jalawastu dan  pergi ke Baduy. Namun sebelum pergi Gandawangi menitipkan pesan kepada kakanya untuk menjaga adat budaya dan tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Gandawangi yang beragama Islam tetap mempertahankan tradisi leluhur sesuai janjinya, seperti yang terlihat dalam Ngasa. 

Dalam acara tersebut doa  keselamatan dipanjatkan untuk seluruh umat manusia dari mulai yang tertinggi sampai yang di desa dalam bahasa dan tradisi Sunda, sesuai amanat yang diminta Gandawangi. (KBC-54|Kompasioner-Brebes)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun