Catechin yang terdapat dalam teh dapat mencegah kanker kulit karena sinar UV maupun karena bahan kimia. Catechin juga dapat mencegah tumor paru dan esophagus. Kekuatan untuk pencegahan terhadap kanker oleh polyphenols lebih besar dari quarcetin, suatu jenis flavonol yang lain. "Subhanallah. Ternyata selain untuk menyegarkan badan, teh juga dapat mengurangi resiko kanker," gumamku sendiri takjub.
Dan ketika kuteruskan membaca karya ilmiah DR. Muhilal yang berjudul "Komposisi Kimiawi dan Manfaat Teh untuk Kesehatan," rasa takjubku semakin bertambah. Teh juga mempunyai khasiat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular, menurunkan berat badan, dan menurunkan tekanan darah tinggi. Robbanaa maa kholaqta haadzaa baathila. Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
TOK-TOK-TOK! Aku menoleh ke arah pintu. "Silahkan masuk Bu. Pintunya tidak dikunci kok," sahutku kemudian. Lalu daun pintu itu bergerak dan sebentuk wajah Ibu yang teduh muncul bersamaan dengan senyumnya yang khas terkembang. Aku pun membalas senyumannya. "Assalaamu'alaikum," sapa Ibu lembut. "Wa'alaikumsalam," jawabku masih tersenyum.
Ibu mendekatiku dan duduk tepat di sebelahku. "Lagi belajar apa Rin," tanya Ibu. "Kimia Bahan Alam." Aku menghentikan bacaanku dan mengalihkan perhatian ke wajah Ibu. "Ada apa Bu?" tanyaku kemudian. Sejenak Ibu tersenyum lagi dan mengusap kepalaku. "Rin, kamu tahu kan sekarang yang menempati rumah ini hanya tinggal kita bertiga saja termasuk Bapak."
Aku tidak mengerti maksud ucapan Ibu dan akan mengarah kemana, namun aku mengangguk juga. "Sejak kepergian kakak-kakakmu rumah ini menjadi sepi," sahut Ibu lemah. Mendung sudah mulai tampak di pelupuk matanya. "Tapi kan masih ada Rini, Bu." Aku memegang jemari Ibu dan memandangnya dengan penuh harapan. Harapan agar mendungnya kembali sirna. Dan aku berhasil. Ibu pun tersenyum.
"Lagian kan tiap bulan sekali cucu Ibu dan keponakan Rini juga pada datang meramaikan rumah ini," sambungku lagi. Keluarga kami memang termasuk keluarga besar. Keluarga kami yang berjumlah total delapan orang dengan menempati rumah yang sangat sederhana ini, terasa sangat sempit dan ramai. Apalagi perbedaan usiaku dengan kakak-kakakku hanya terpaut dua tahun dan satu tahun saja.
Maka, betapa semaraknya rumah ini ketika kami semua masih kecil. Dan betapa sabarnya Ibu mengurusi kami semua hingga beranjak dewasa dan menjadi orang. Dibandingkan Bapak, Ibu memang lebih dekat dengan anak-anaknya. Namun, satu persatu kakak-kakakku meninggalkan rumah ini untuk berjuang mandiri bersama keluarga barunya, hingga hanya tersisa si bungsu yang masih tercatat sebagai mahasiswi, aku sendiri.
Dan aku bisa merasakan kesedihan hati Ibu atas kehilangan anak-anaknya yang dahulu masih nakal dan lucu-lucunya. "Kamu kepingin nggak, punya adik lagi?" tanya Ibu tiba-tiba. Aku terkejut mendengar pertanyaan Ibu. "Maksud Ibu?" Ibu mengulang pertanyaannya kembali. Aku tidak salah mendengar. Aku agak gelagapan dan merasa salah tingkah dengan pertanyaan itu. Dan akhirnya aku menelan ludahku sendiri.
"Rini kadang-kadang juga pernah menginginkan adanya seorang adik," aku mencoba mengatur napasku yang kurang teratur. "Tapi kan usia Ibu sudah...." Aku tidak tega melanjutkannya lagi dan mencoba untuk melihat ekspresi Ibu. Namun dugaanku meleset. Ibu terlihat tenang dan sedikit tersenyum. Saat itulah aku merasa sebuah cahaya menerangi pikiranku yang sudah buntu.
"Apakah Ibu mau mengadopsi anak?" tanyaku hati-hati. Ibu menggelengkan kepalanya. Dan pikiranku sudah benar-benar buntu kali ini. "Lalu?" Ibu pun berkata, "Ibu hamil, Rin!" Tiba-tiba saja aku merasakan adanya petir yang menyambar kepalaku. Dan waktu berkelebat laksana kilat. Aku ... masih tetap tidak percaya kalau Ibu benar-benar hamil. Bapak pun awalnya sependapat denganku. Namun ini benar-benar terjadi.
Ibu hamil lagi di usianya yang sudah senja. Entah aku gembira atau tidak mendengar berita ini? Gembira karena akan mendapatkan seorang adik lagi yang selama ini hanya menjadi angan-anganku saja atau terasa gamang saja karena mengkhawatirkan kondisi Ibu yang sudah berusia lanjut. "Kira-kira sudah berjalan berapa bulan, Bu?" tanyaku. Ibu tersenyum, "Mungkin sudah berjalan tiga bulan."