Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tarik Tunai Saat Mudik, Tetap Bisa Tanpa Kartu

29 Mei 2019   22:53 Diperbarui: 29 Mei 2019   23:15 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tiga bulan!" Aku terkejut mendengarnya, namun wajah Ibu terlihat tenang dan sangat bahagia. "Kamu inginnya punya adik laki-laki atau perempuan, Rin?" Aku memegang tangan Ibu dan kemudian meraba perutnya. "Mendengar Ibu hamil saja sudah merupakan keajaiban," ujarku kemudian. "Mungkin ini salah satu karomah Alloh yang patut kita syukuri," tiba-tiba saja Bapak sudah berdiri di dekat kami dan menimpali.

"Karena itu kita harus menjaganya dengan baik dan hati-hati, terutama biangnya ini." Ibu langsung mencubit Bapak, "Bapak bisa saja...." Bapak tertawa dan memeluk Ibu. Aku pun tidak dapat menahan untuk bisa tersenyum dan sekaligus terharu melihat mereka berdua. "Ya sudah. Ayo kita berangkat, Bu. Nanti kita telat lagi check-upnya," Bapak mengingatkan Ibu yang langsung dijawab dengan anggukan.

Semilir angin sore yang dingin menyadarkanku dari lamunan. Aku pun meneruskan pekerjaanku menyapu halaman. "Sebentar lagi mereka datang," bisikku. Dan aku bisa membayangkan ekspresi Bapak dan Ibu saat memasuki halaman rumah ini. Semalam aku membaca jurnal ilmiah kedokteran tentang kehamilan di usia senja. Menurut jurnal itu, kejadian tersebut bisa saja terjadi terhadap 1 dari 1.000.000 orang.

Karena langkanya, pemeriksaan atau check-up harus dilakukan sesering mungkin, apalagi mengingat kondisi inangnya yang sudah berusia lanjut. Kugiring dedaunan terakhir yang berguguran ke dalam pengki dan akhirnya berpindah ke tempat sampah. Aku memperhatikan seluruh halaman dengan teliti. Setelah yakin sudah bersih semua, aku berjalan menuju samping rumah.

Sebuah getaran membuyarkan lamunanku. Getaran dari hape yang kusimpan di saku celana. Saat mengeceknya, ternyata itu dari Kak Tiara, kakak ketiga yang tinggal di Jakarta. "Rin, Kakak sudah transfer satu juta ya buat pegangan kamu. Kalau ada apa-apa sama Ibu, cepat beritahu." Aku langsung kegirangan saat itu juga. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung mengambil sepeda menuju minimarket terdekat.

Aku ingin membelikan martabak telor kesukaan Bapak dan Ibu, juga sate ayam khas Madura. Sampai di depan minimarket, kuparkirkan sepeda dan langsung merogoh-rogoh saku celana. Dan akhirnya aku menepuk dahi sendiri. "Fiuh, kartu ATM ketinggalan," bisikku kesal. Pada saat ingin berbalik, aku teringat sesuatu. Kuambil hapeku dan langsung membuka aplikasi m-BCA.


Aku memilih menu Tarik Tunai, lalu memilih nominal yang diinginkan, dan klik OK. Setelah memasukkan PIN, langsung mendapatkan kode tarik tunai. Aku pun melenggang santai ke dalam minimarket. Batas waktu tarik tunai adalah dua jam. Untung tidak ada orang lain di depan ATM. Aku pun memilih menu Transaksi Tanpa Kartu dan memencet menu BCA mobile di sebelah kanan.

Aku tinggal memasukkan nomor hape dan lanjut dengan input kode tarik tunai yang terdiri atas enam digit. Tidak berapa lama mesin berproses, dan uang yang kubutuhkan langsung keluar. Aku pun bergegas ke tukang martabak telor dan sate ayam langganan. Sampai di rumah, Bapak dan Ibu belum sampai. Aku bersyukur. Tak lama terdengar suara mesin yang sudah akrab di telingaku mendekat. Suara mobil Bapak.

Aku langsung keluar untuk menyambut mereka. Namun langkahku terhenti seketika saat melihat wajah Ibu yang sembap. Lagi-lagi dugaanku meleset, bahkan jauh sekali dari perkiraan semula. Tiba-tiba saja Ibu berlari ke arahku dan memelukku erat, menangis. Aku yang tidak tahu apa-apa tentu saja bingung harus bagaimana. Aku hanya bisa larut dalam kesedihan Ibu yang tidak kumengerti.

Rasa haru dan bingung berbaur menjadi satu dalam dekapan. "Sudah, sudah...," suara Bapak menenangkan. Bapak lalu menggamit pundak Ibu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti mereka dengan hati penuh tanda tanya. Kemudian duduk di ruang tamu menatap mereka memasuki kamar. "Mungkinkah Ibu...?" tanyaku mengira-ngira.

Segala macam kemungkinan bisa saja terjadi dan aku tidak bisa menduganya begitu saja. Yang harus kulakukan adalah menunggu penjelasan dari Bapak. "Rin...," ucap Bapak setelah keluar dari kamar dan duduk di sebelahku. Aku berusaha memasang telinga lebar-lebar. "Ibu harus menjalani operasi," suara Bapak bergetar. Aku langsung terlonjak mendengarnya. "Mungkinkah calon adikku tidak normal?" tanyaku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun