Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Transfer Uang Lebaran Bisa Menggunakan QR-ku

22 Mei 2019   22:25 Diperbarui: 22 Mei 2019   23:01 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok itu yang tidak menduga dengan gerakan Yani tersebut segera kehilangan keseimbangannya. Mangkok baso yang dipegangnya hampir saja jatuh, tetapi isinya sudah tumpah sebagian. Yani yang pura-pura tidak tahu, segera meminta maaf sambil menahan tawa melihat wajah Yanto yang sudah berubah pasi. 

Dan Yani akhirnya tidak bisa menahan tawa ketika sosok itu dengan susah payah mengumpulkan kembali baso dan mienya yang tercecer. Dan slide itu pun menghilang. Meledak.

Bersamaan dengan keadaan gelap pekat yang tiba-tiba saja menjadi bercahaya. Amat terang. Lalu cahaya itu hilang berangsur-angsur. Sampai akhirnya, Yanto dapat melihat buku tulisnya sendiri. Dan ia pun dapat merasakan sentuhan lembut di bahunya. "To! Yanto! Kok melamun sih?" tegur seseorang. Sosok itu mengerjapkan matanya. Kepalanya diangkat dan langsung menoleh pada sumber suara yang menegur. "Eh, Don. Ada apa?" ujarnya sambil membetulkan kacamata tebalnya.

"Kok ada apa sih?" Doni balik bertanya. "Jadi ikut nggak ke rumah Yani?" Yanto kembali mematung. "Tuh kan. Malah bengong lagi. Jadi ikut nggak?" Doni menggeser Yanto dan langsung duduk di sebelahnya. Tangan Doni merangkul bahunya. "To, Yani itu teman kita waktu SMP. Bahkan, dia satu kelas terus sama kita dari kelas satu sampai kelas tiga. Sekarang pun, kita satu kelas lagi. Teman-teman SMP kita yang melanjutkan sekolah ke SMU Nusantara ini hanya sedikit."

Yanto menatap Doni, "Kamu tahu apa yang sering ia lakukan terhadapku?" Doni terdiam. Matanya hanya memandang wajah sosok itu. Beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Oya, ini ada foto QR dari tabungan Yani. Sebagian kawan-kawan sudah transfer ke rekening Yani buat sumbangan." Doni memperlihatkan foto QR di hapenya, lalu meletakkan hape tersebut di sebelah Yanto. "Apa yang pernah dilakukan Yani kemarin-kemarin, itu urusan kamu, To. Aku hanya mau mengajak bareng ke rumah Yani."

"Kalau kamu mau ikut, pas bubaran sekolah nanti, kita bisa sama-sama ke sana," ujar Doni, kemudian berdiri. "Sebentar lagi lebaran, masa gak ada kata maaf dari hati terdalammu?" Setelah menepuk bahu Yanto dua kali, Doni pun meninggalkannya. Sosok itu mendesah. Pandangannya masih saja kosong. Yanto kemudian melihat hape Doni yang ditinggalkan. Dia kemudian menyalakan hapenya sendiri, masuk ke aplikasi m-BCA. Setelah login, klik tombol QR. Lalu men-scan kode QR yang ada di hape Doni.

Agak lama dia mau menuliskan nominalnya. Setelah berpikir panjang, Yanto kemudian menuliskan angka satu juta. Dia menarik napas panjang entah untuk yang ke berapa kalinya. Sumbangan itu kan seikhlasnya, dan Yanto yakin kalau Yani pasti butuh dana besar untuk lebaran nanti. Dia memasukkan kode PIN lalu OK. Selesai. Transferan berhasil. Sosok itu kemudian meletakkan hapenya di samping hape Doni. Teknologi memang semakin canggih. Padahal Yanto sendiri tidak tahu berapa nomor rekening Yani.

Siang yang panas. Di rumah Yani sudah banyak orang yang datang. Kebanyakan dari mereka berpakaian serba hitam. Yang laki-laki, ada juga yang berpeci. Sebagian duduk-duduk di luar dengan raut wajah yang tidak begitu cerah. Sementara di dalam rumah, terdengar beberapa orang yang sedang mengaji. Rombongan anak-anak sekolah yang berseragam putih-abu-abu dari SMU Nusantara terlihat masuk ke dalam. Di antaranya, terdapat Yanto dan Doni.

Sesampainya di dalam, Yanto melihat jenazah ayah Yani yang meninggal karena kecelakaan. Ada hati yang membuncah ketika melihat jenazah itu. Sementara di sebelah jenazah itu, Yani duduk bersimpuh dengan mata yang sembab. Air matanya seolah-olah tak pernah kering. Selalu saja ada yang menggenang di pelupuk matanya. Dan ketika Yani melihatnya, Yanto terpana sesaat. Ia pun kemudian menangkupkan kedua tangannya di dada sebagai tanda berbela sungkawa.

Lebaran nanti jelas akan menjadi momen yang tidak begitu indah bagi Yani. Pun dengan Ramadan kali ini. Baru sepuluh hari menjalani puasa, Yani sudah kehilangan ayahnya. Apapun yang telah dilakukan Yani semenjak mengenalnya di bangku SMP, sudah dimaafkan Yanto. Semuanya. Yanto berjanji pada dirinya sendiri bakal menjaga Yani sampai kapanpun. Dia menyayangi gadis itu seperti adiknya sendiri.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun