Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sedotan Alternatif sebagai Pengganti Sedotan Plastik

10 Mei 2019   23:09 Diperbarui: 10 Mei 2019   23:26 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saleh segera berlari ke luar kantornya. "Agus mana? Agus?!" teriaknya memburu. Beberapa orang yang sedang santai di pekarangan terkejut bukan kepalang. Mereka mencari tahu apa yang sedang terjadi. Seorang pemuda dengan topi lebarnya tampak berlari mendekati orang yang sedang berteriak, "Ada apa, Pak Saleh?" Saleh pun menunjuk salah satu mobil. "Antar saya segera ke Desa Kapota. Wangiwangi!"

Tidak menunggu lama bagi dua orang tersebut untuk langsung masuk ke mobil Jeep, diikuti oleh dua orang lainnya. Mobil Jeep hitam kemudian keluar dari kantor Yayasan Lestari Alam Wakatobi, menembus daerah perkotaan dan langsung menuju arah pesisir. Waktu begitu cepat bergerak hingga rombongan yang diburu waktu telah sampai di desa yang dimaksud. Desa Kapota, Kecamatan Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi.

Mereka berempat kemudian turun dan langsung berlari ke arah pantai. Masyarakat desa tampak ramai di pantai. Benda hitam besar dikerubutin masyarakat. Mereka menyayat daging di sana. Saleh mengenakan masker dan membesarkan matanya. Di depannya, seekor paus berjenis Sperm Whale (Physeter macrocephalus) sedang disayat-sayat oleh warga desa setempat. Ia tahu kalau mereka sedang berebutan daging dan minyak.

Kabar di telepon tadi mengatakan bahwa paus tersebut terdampat di pantai sudah dalam keadaan mati. Warga desa tidak bisa disalahkan. Namun yang membuat matanya memerah dan menggelemetukkan giginya adalah perut paus yang sudah terbuka lebar. Botol plastik, tali rafia, sobekan terpal, penutup galon, botol parfum, sandal jepit, kresek, piring plastik, gelas plastik, dan jaring terlihat di sana. Sampah plastik di perut paus.

Senin, 19 November 2018, berita paus yang mati mengenaskan tersebut langsung tersebar ke dunia maya. Paus berkepala kota itu memiliki panjang 9,6 meter dan lingkar badan 437 sentimeter. Sampah plastik yang ditemukan di dalam perutnya diperkirakan sekira 5,9 kg. Saleh pun terduduk di bawah pohon kelapa. Ia menghembuskan napas panjang. "Sampah plastik tidak akan terurai di perut paus, dan beracun."

Aktivis dari Yayasan Lestari Alam Wakatobi itu berbicara pada Agus. "Pencernaannya terganggu, lalu mati," lanjutnya. Saleh menundukkan kepala. Langit yang biru tidak membuatnya bahagia. Hempasan ombak terdengar samar di telinganya. Matanya memanas. Tiga bulan lalu di Laut Banda, dirinya melihat bahwa ada sabuk sampah membelah laut tersebut dari Timur Laut Sultra sampai tenggara Kepulauan Sula.

SAMPAH PLASTIK TELAH MEMENUHI LAUTAN
Awal Juni 2018, di belahan bumi lainnya, masih di sekitar Asia Tenggara. Seekor paus pilot akhirnya mati di bagian selatan Thailand. Sebelum menemui ajalnya, paus itu ditemukan sudah dalam kondisi sakit dan tidak bisa berenang di Kanal Na Thap. Para petugas perairan Thailand kemudian mencoba menggunakan perahu agar paus tersebut dapat terus mengapung. Perawatan intensif juga diberikan sepanjang hari, namun terlambat.

Nyawa paus itu takbisa tertolong lagi. Setelah diselidiki dan diotopsi, paus itu ternyata telah menelan sampah pastik dalam jumlah yang begitu banyak. Berat sampahnya diperkirakan sekira 8 kilogram. Makhluk-makhluk laut berduka. Saleh sering membaca di berita bahwa ada banyak satwa laut yang mati mengenaskan karena sampah plastik. Bangau yang kakinya diselubungi plastik. Penyu yang terjerat plastik. Miris.

Thailand adalah salah satu negara pengguna kantong plastik terbanyak di dunia. Kantong plastik diyakini telah membunuh ratusan hewan laut di perairan Thailand setiap tahunnya. Indonesia? Jangan ditanya. Dalam kajian SWI (Sustainable Waste Indonesia), dari 100% sampah plastik yang dihasilkan, 69% di antaranya masuk ke tempat pembuangan akhir dan hanya 7% yang didaur ulang. Adapun 24% mencemari lingkungan.

Sampah-sampah itu awalnya hanyalah limbah rumah tangga yang dianggap biasa. Dibuang begitu saja tanpa merasa berdosa ke selokan atau sungai-sungai kecil. Dilempar saat malam hari di pinggir-pinggir jalan. Pada saat hujan, sampah itu terbawa masuk sungai. Dari sungai kecil, masuk ke sungai besar. Hingga akhirnya tanpa kepedulian dari manusia yang begitu lalai, sampah tersebut akhirnya masuk ke lautan lepas. Takterkendali.

Sebuah hasil kajian memperingatkan bahwa jumlah plastik di samudera dapat bertambah tiga kali lipat dalam 10 tahun mendatang, jika tidak ada langkah serius yang diterapkan. Kajian The Ocean Cleanup Foundation memperkirakan sekitar 80.000 ton plastik berada di 'Area Sampah Pasifik Raya' yang membentang antara California dan Hawaii, Amerika Serikat. Jumlah itu 16 kali lipat dari yang sebelumnya dilaporkan.

Kesimpulan dari kajian tersebut adalah 99,9% dari serpihan di area di Pasifik merupakan plastik. Sedikitnya 46% sampah plastik mencakup jaring pemancingan. Kemudian tiga perempat dari sampah plastik yang berukuran lebih besar dari 5 cm meliputi plastik keras, lembaran plastik, dan film. Meskipun sebagian benda besar telah hancur berkeping-keping, para peneliti mampu mengenali serpihan-serpihan kecil itu.

Mereka adalah wadah, botol, penutup, tali, jaring ikan, dan tali untuk paket. Sebanyak 50 benda dalam sampel yang ditarik dari laut dapat terbaca kapan diproduksi. Ada satu benda dari 1977, tujuh dari 1980-an, 17 dari 1990-an, 24 dari 2000-an, dan satu dari 2010. Hanya serpihan jenis tertentu yang cukup tebal sehingga mampu mengapung dan berakumulasi di area tersebut, termasuk polyethylene dan polypropylene.

SEDOTAN BAMBU PENGGANTI SEDOTAN PLASTIK
Sosok itu ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh Saleh. Mikroplastik sekarang ini telah merambah laut begitu luas dan dikonsumsi oleh sejumlah besar makhluk laut. Sampah-sampah plastik itu bahkan ditemukan dalam sampel-sampel yang didapat dari Palung Mariana, bagian terdalam planet Bumi. Mereka berbahaya tidak hanya bagi spesies mikro atau kecil, tetapi juga pada predator besar seperti ikan paus pilot.

Sampah plastik yang dibuang sangat beragam, mulai dari barang rumah tangga sehari-hari hingga sedotan. Meski wujudnya kecil, sedotan untuk minuman kemasan gelas plastik belum banyak yang didaur ulang. Sedotan jarang dikumpulkan pemulung. "Bentuknya terlalu kecil, ngumpulinnya susah. Untuk bisa terkumpul satu kilogram aja, harus dipungut satu persatu. Kan nggak mungkin," ujar salah satu pengepul di Tangerang.

Oleh karena itulah perlu adanya kesadaran yang harus disebarluaskan dalam mencegah semakin bertambahnya sampah plastik. Apa saja bisa dilakukan asal digerakkan secara masif meski dalam lingkup kecil. Sosok itu telah melakukannya sejak beberapa tahun yang lalu. Misalnya saja dengan membiasakan diri membawa tumbler dan membawa tas belanja sendiri. Apalagi di bulan Ramadan ini penggunaan plastik semakin takterkendali.

Minuman segar tersedia di mana-mana dan dapat dilihat sendiri bahwa wadahnya terbuah dari plastik. Gelas plastik. Mug plastik. Mangkok plastik. Piring plastik. Bahkan untuk membawa semua itu diperlukan kantong plastik atau kresek. Alat untuk meminumnya pun dari sedotan platik. Miris. Satu langkah kecil berupa membawa tumbler atau tas belanja sendiri dirasa kurang. Dia pun menggantinya dengan sedotan bambu.

Masih banyak sedotan-sedotan lainnya yang bisa menggantikan sedotan plastik. Selain sedotan bambu yang dibeli dengan harga murah (yaitu hanya Rp2000), masih ada sedotan stainless steel dan sedotan kertas. Apa yang dilakukannya bisa jadi kecil tetapi dampaknya akan luar biasa. Tidak usahlah menunggu orang lain untuk berubah. Terus saja konsisten dengan perubahan pada diri sendiri. Lanjut ke keluarga. Siapa tahu terus meluas. Wallahu'alam.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun